Minggu, 10 April 2011

Tradisi Cerpen Kompas Pilihan dari Tahun ke Tahun


Oleh Dodi Prananda



Cerpen di tengah kehidupan masyarakat yang terkadang dikungkung oleh banyak kesibukan, aktivitas yang menjemukan menjadi semacam santapan penyegar. Sebuah santapan yang barangkali mampu menimbulkan kenikmatan dalam menghilangkan kepenatan berikut kejemuan ketika kita harus berhadapan dengan pemberitaan media yang aktual, hangat, dan dijejali dengan pemberitaan yang sifatnya kers, menguras pikiran, menegangkan, dan membuat kita jadi pusing memikirkannya (Rikard Bagun, hal xi). Dengan hadirnya cerpen di hari Minggu seolah menjadi penyegar atas pemberitaan sepanjang Senin hingga Sabtu di hampir semua media massa di Indonesia. Adanya cerpen saban hari Minggu menjadi santapan yang lezat dan gurih bagi setiap orang yang merasa dikungkung, disesaki, orang yang merasa butuh kesegaran, butuh penyeimbang atas hal-hal yang menjejaki pikiran.

Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Kompas dalam Kata Pengantar Kompas menyebutkan bahwa posisi cerita pendek dalam koran menjadi unik, lebih-lebih jika dilihat sebagai pengimbang bagi rangkaian berita keras, langsung dan bahkan terkadang panas, tentang berbagai peristiwa aktual dan hangat.

Cerpen bersifat membebaskan, terutama dari impitan kompleksitas berita yang terkadang menegangkan dan menguras pikiran. Barangkali, atas dasar pemikiran itulah KOMPAS yang selalu memuat cerpen di setiap edisi Minggunya melakukan tradisi membukukan cerpen yang dianggap terbaik sepanjang tahun (saban tahunnya) sejak tahun 1992.

Untuk itulah, di saban Minggu, ruang halaman seni di Kompas selalu memuat cerita pendek di setiap edisi Minggu. Sedangkan tradisi pembukuan cerpen-cerpen pilihan? Tahun ini, setidaknya Kompas kembali menghelat perayaan tradisi pemilihan itu. Meski secara teknis, ada beberapa pembaharuan yang dilakukan oleh Ketua panitia pemilihan Cerpen Kompas Pilihan 2009, Ninuk Mardiana Pambudy. Pertama, terlihat dri sektor dewan juri yang dipercaya untuk melakukan penyeleksian terhadap 51 cerita pendek yang dimuat sepanjang tahun 2009 oleh Kompas.

Menilik ke masa lalu, tepatnya ketika tahun 1992 silam, Kompas selalu melakukan tradisi ini dalam rumah tangganya sendiri tanpa melibatkan orang-orang yang dianggap cakap dalam dunia sastra. Kompas membidani penerbitan sekaligus proses penyeleksian secara mandiri: dengan artian mempercayakan penyeleksian cerpen-cerpen yang dimuat pada kurun waktu tertentu tersebut pada anggota Redaksi Kompas. Anggota Redaksi Kompas dalam hal ini perlu digarisbawahi, mengingat tidak hanya mereka yang merupakan bagian dari anggota redaksi yang memang dipercaya membidani liputan yang berada pada ruang lingkup seni dan sastra, tetapi juga mengikutsertakan mereka yang secara nyata hanyalah bertindak sebagai penikmat sastra, namun merupakan keluarga besar di lingkungan ke ‘rumah tangga’ an Kompas.

Baru pada tahun 2005 dan 2006- lah ada sedikit pembaharuan dalam menjalani tradisi tahunan itu. Tahun itu, Kompas mulai melakukan sedikit inovasi, yaitu dengan ikut mengajak dan melibatkan secara aktif mereka-mereka yang dianggap punya kanz, punya kompetensi dan kredibilitas yang baik dalam dunia sastra (khususnya cerpen). Kompas mulai mengundang mereka-mereka yang tidak berasal dari keluarga besar Kompas. Maka, secara berturut-turut sepanjang tahun Kompas memasangkan Nirwan Dewanto dengan Bambang Sugiharto, Ayu Utami dengan Sapardi Djoko Damono, serta pada tahun 2008 memasangkan Rocky Gerung dengan Linda Christanty.

Maka, sedikit pembaruan lagi ketika melakukan penyeleksian untuk cerpen Kompas pilihan 2009 yaitu mengundang mereka yang bukan berada di lingkungan rumah tangga Kompas, tidak mempunya background kepenulisan prosa, tetapi dianggap memiliki perhatian besar pada perkembangan dunia sastra cerpen Indonesia. Dia adalah Kusmayanto Kadiman, seorang Menteri Riset dan Teknologi RI tahun 2004-2009. Di samping itu, Kompas juga mempercayai Budiarto Danujaya, sebagai pasangan Kusmayanto dalam melakukan penjurian.

Budiarto memang dikenal sebagai orang yang banyak malang melintang di dunia sastra Indonesia. Setidaknya ia pernah memiliiki riwayat kerja sebagai wartawan di Kompas dan majalah Jakarta Jakarta, di samping juga aktif menulis kritikan seni dan sastra pada pelbagai media. Berbeda dengan Kusmayanto, ia hanyalah repsentatif dari kepluralan masyarakat Indonesia yang juga ikut menikmati cerpen yang dimuat di Kompas.

Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia secara segmen pembaca media, muncul dari aneka latar belakang pengetahuan, pengalaman dan minat. Maka, untuk menghargai kepluralan itu, Kusmayanto –yang kerap menunjukkan sikap kepeduliannya terhadap dunia sastra cerpen khususnya melalui cerpen-cerpen Indonesia yang dimuat di Kompas memberikan kritikan via sms kepada redaksi.—dianggap sebagai wakil dari sekian ribu masyarakat Indonesia.

Setelah melakukan penjurian, atas 51 cerita pendek yang dimuat di Kompas kurun tahun 2009, terpilihlah enam belas cerita pendek Indonesia yang dianggap baik dari semua segi atau alat ukut kedua juri. Kendatipun dalam proses penjurian, nyatanya hanya enam cerpen yang benar-benar dipilih secara bersama oleh kedua orang dewan juri. Selebihnya adalah cerpen yang dilakukan lagi penjurian secara bersama oleh tim ketua panitia, mengingat setidaknya harus ada sekitar 15 judul hingga 20 judul cerita pendek yang akan dimuat dalam buku Cerpen Kompas Pilihan 2009 ini.

Buku Cerpen Kompas Pilihan 2009 ini menghimpun enam belas cerita pendek Indonesia yang sebagian justru ditulis bukan oleh penulis yang namanya sering muncul. Ada beberapa nama baru yang karyanya dianggap baik oleh kedua juri. Keenam belas cerpen itu adalah: Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian (Avianti Armand), Blarak (Yanusa Nugroho), Kucing Kiyoko (Rama Dira J), Penyusup Larut Malam (S.Prasetyo Utomo), Menanti Kematian (Jujur Prananto), Foto (Sori Siregar), Infini (J Angin), Pesan Pendek Dari Sahabat Lama (Indra Tranggono), Senja di Taman Ewood (Sungging Raga), Malam Pertama Calon Pendeta (Gde Aryantha Soethama), Tukang Cuci (Mardi Luhung), Ayat Keempat (Joni Syahputra), Dua Perempuan di Satu Rumah (AS Laksana), Pemetik Air Mata (Agus Noor), Nima (Aba Mardjani), dan Kaki yang Terhormat (Gus tf Sakai)

Dari keenambelas penulis tersebut, memang bisa terbaca sebuah hal yang mencolok. Yaitu, tidak terpilihnya beberapa karya penulis yang sudah produktif secara karya dan karyanya sering dimuat di Kompas, justru tidak terpilih. Melainkan ada penulis dengan nama baru (bahkan juga dengan usia yang relatif muda), justru menarik hati dewan juri melalui karyanya. Sebut saja Sungging Raga, Rama Dira J, Avianti Armand, Joni Syahputra dan beberapa nama lainya yang bisa dibilang ‘baru’ dan belum begitu tersohor dalam konteks ‘nama’ seperti Gus tf Sakai, Yanusa Nugroho atau Jujur Prananto.

Melalui debat para juri lagi, dipilihlah cerpen terbaik dari keenambelas cerpen yang masuk dalam seleksi. Akhirnya, setelah perdebatan panjang, terpilihlah cerpen ‘Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian karya Avianti Armand, seorang arsitek terkenal yang saat ini menjadi Dosen tamu di jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. Percaya tak percaya, cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian tersebut adalah cerpen pertama Avianti Armand yang dimuat di Kompas. Memang sebuah hal yang patut diacungkan jempol. [ ] Penulis bergiat di Sanggar Pelangi Padang, Yayasan Citra Budaya Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar