Sabtu, 05 Maret 2011

Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Christanty Nan Mencekam


Judul Buku : Rahasia Selma (Kumpulan Cerita)
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2010
Halaman : 130 halaman
ISBN : 978-979-22565-6-7
Harga : Rp.30.000
Peresensi : Dodi Prananda





Linda Christanty memang tidak hanya menunjukkan kiprah yang baik di dunia jurnalis. Ia juga cukup tersohor atas kiprah menulisnya. Di dunia kepenulisan prosa, tahun 2004 silam Linda Christanty hadir dengan Kuda Terbang Maria Pinto, buku yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Kini, Linda hadir kembali menyapa para penikmat sastra Indonesia melalui sebuah buku kumpulan cerpen yang memikat bertajuk Rahasia Selma.

Rahasia Selma merupakan salah satu judul cerita yang termaktub dalam buku ini. Setidaknya dalam buku ini terdapat sebelas judul cerpen, delapan diantaranya telah dipublikasikan di media massa nasional seperti Koran Tempo, Media Indonesia dan Demos. Cerpen-cerpen yang termaktub dalam buku ini yaitu Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Rahasia Selma, Kesedihan, Drama, Para Pencerita, Jazirah di Utara, Ingatan dan Babe.

Dari semua judul itu, hanya empat cerita yang belum dipublikasikan dengan kata lain merupakan karya manuskrip yang sengaja dimasukkan dalam buku ini untuk melengkapi jumlah cerpen. Lima cerita dalam buku ini, telah dipublikasikan di Koran Tempo antara kurun waktu 2005-2010, yakni Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Drama, Jazirah di Utara, dan Kesedihan. Tiga cerita diterbitkan di Media Indonesia dan Demos, serta tiga lainnya, Rahasia Selma, Ingatan, dan Babe, belum pernah diterbitkan di media cetak.

Melihat penampilan fisik buku, barangkali pembaca akan dibuat terkesan. Secara sampul, buku Rahasia Selma terbilang menarik. Pasalnya, ada sebuah komposisi ilustrasi yang dikemas dengan gambar yang menarik. Linda mengusung gambar kaki anak-anak yang mengenakan kaus kaki warna hijau dengan motif bunga-bunga. Anak tersebut tampak memakai sandal warna hitam. Gambar kaki seorang anak-anak tersebut dipadu dengan background warna oranye pudar. Apabila kita cermati, sekilas konsep sampul yang diusung Linda dalam buku ini memang agak mirip dengan konsep yang diketengahkan oleh buku karangan Vladimir Nabokov berjudul Lolita.

Buku Vladimir tersebut juga mengangkat konsep sampul yang agak mirip dengan buku Rahasia Selma ini. Namun, ada hal yang jauh berbeda diantara keduanya. Lolita dibuat dengan kesan menonjolkan kesedihan, terlihat melalui pemilihan warna hitam putih yang mendominasi. Sedangkan Rahasia Selma cenderung terkesan lebih ngejreng, dengan paduan warna-warna hidup. Perbedaan kedua terlihat dari cara berdiri sang tokoh anak-anak. Kalau dalam buku Lolita, pada sampulnya terlihat kaki anak-anak yang berdiri dengan pose kaki kanan yang agak sedikit ditekuk ke depan. Berbeda dengan Rahasa Selma, justru sang anak berdiri lurus tegak, dengan sepasang sepatu menghadap lurus.

Secara implisit, ada maksud yang ingin disampaikan Linda atas pemilihan konsep sampul seperti itu. Apabila kita telusuri lebih jauh, khususnya dalam cerpen Rahasia Selma, kita dibuat melalang buana ke dunia Selma, seorang anak yang ingin banyak tahu tentang dunia luar. Atas rasa keingintahuannya itulah, secara sembunyi-sembunyi Selma melakukan perjalanan tanpa diketahui siapapun. Termasuk Ibu Selma sendiri.
Kalau kita sadari, apa yang membuat Selma melakukan semua itu? Ingin tahu dunia luar, melakukan perjalanan itu secara diam-diam? Ya, kesepianlah yang mensugesti dan memberikan stimulus pada Selma sehingga bocah itu diam-diam pergi tanpa sepengetahuan Ibunya. Banyak diantara cerpen-cerpen Linda yang menonjolkan kesepian-kesepian yang mengungkung para tokohnya. Sama halnya pada cerpen Rahasia Selma itu. Maka, apabila dikaitkan pada sampul buku, terlihat sebuah gambaran betapa ingin tahunya anak-anak terhadap dunia luar – sebagai akibat kesepian yang melandanya—dan diekspresikan melalui gambar kaki anak-anak itu. Desain sampul yang menawan itu adalah hasil racikan Mirna Yulistianti dengan mengadopsi foto yang bersumber dari Shutterstock dan pensettingan oleh Malikas.

Masih soal sampul, kali ini sampul bagian belakang, Linda masih menyuguhkan hal yang sama seperti buku yang sebelumnya. Paling kentara terlihat dari tulisan endhorsement yang ditulis oleh endhoserser yang sama. Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Nirwan Dewanto adalah tiga nama sastrawan Indonesia (penyair) yang diminta menjadi endhorser pada buku ini – juga pada buku-buku Linda terdahulu—
Salah satunya Sapardi, yang menilai bahwa cerita-cerita yang ditulis Linda membuat ia membayangkan perkembangan cerita pendek Indonesia di masa datang. Sedangkan Nirwan – Redaktur Sastra dan Budaya Koran Tempo yang juga penyair—justru menyebutkan Linda mampu cerita-cerita yang mengusung aliran realisme yang mencekam, justru karena antididaktik.

Lain dengan Sutardji, menilai bahwa Linda menampilkan tema kemanusian tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan. Pertanyaan yang muncul, adakah alasan tersendiri bagi Linda atas pilihannya menayangkan endhorsement dari ketiga sastrawan yang justru punya background penyair alias penulis puisi? Atau apakah hal ini mungkin ini cara tersendiri bagi Linda untuk menarik pembaca atas penilaian ketiga endhorser yang namanya besar di dunia puisi Indonesia tersebut?
Diantara banyak cerita, ditilik dari segi latar, Linda cenderung memilih rumah sebagai latar yang paling dominan. Maka itulah, alasan penulis memberi judul resensi ini dengan ‘Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Cristanty yang Mencekam’ dengan alasan rumah adalah latar yang paling sering digunakan Linda dalam bercerita.

Rahasia Selma (hal.51) misalnya. Deskripsi yang kuat di awal, tentang suasana kehidupan Selma di rumahnya. Berikut petikan awal pembuka cerpen “Selma tidak lagi merasa sepi atau sendirian seperti sebelumnya. Ibu mengizinkannya memelihara kura-kura, bukan cuma seekor, tapi ribuan. Kura-kura mengelilinginya, berlapis-lapis seperti benteng di halaman rumahnya sendiri. Ia berbaring di sofa biru yang sengaja diletakkan di bawah pohon mangga itu, sementara ribuan kura-kura menjejak hamparan rumput hijau…”

Selanjutnya, Pohon Kersen (hal.5), Linda masih menggambil setting tempat di sebuah rumah yang ada Pohon Kersem di halamannya. Perhatikanlah cuplikan pembuka cerpen tersebut “Rumah kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang …” dan diantara itu cerpen Kesedihan (hal.65) dan Menunggu Ibu (hal.15) masih juga berlatar rumah, tentu saja dengan kesepian masing-masing tokohnya, kendati pada dua cerpen itu penggambaran rumah tidak begitu ditonjolkan ketimbang cerpen Pohon Kersem dan Rahasia Selma.

Dilihat dari cara penutuan deskripsi, Linda terbilang penulis yang mampu mendeskripsikan sesuatu hal dengan kuat. Meski dengan bahasa sehari-hari, tak membuat deskripsi jauh dari kesan estetika yang apik. Sebab, Linda mampu menghadirkan kelincahan berbahasa deskripsi. Bahkan, ketika hendak memulai cerita baru, Linda memperhatikan penggambaran deskripsi mulai dari suasana, tempat secara merinci atau detail. Hanya deskripsi waktu yang tidak begitu ditonjolkan. Hal tersebut bisa kita lihat pada dua cuplikan pembuka pada cerpen yang penulis kutip, Rahasia Selma dan Pohon Kersen.

Ditinjau dari segmen ide cerita, diantara kesebelas cerpen dalam buku Rahasia Selma ini bisa dibilang berangkat dari cerita keseharian manusia. Linda kerap mengangkat tokoh-tokoh yang dililit oleh kesepian, kekelaman, kemuraman, kedukaan dan sebagainya. Hampir semua cerita, hadir dengan tokoh yang punya problema kesepian masing-masing, tapi dengan versi yang berbeda.

Seperti kita dapati dalam cerpen “Pohon Kersen”—cerpen pembuka dalam kumpulan Rahasia Selma ini—di mana tokoh “aku”, sorang anak perempuan yang hidup dalam sebuah keluarga yang tampaknya berbahagia, penuh keceriaan, pengertian, namun ternyata memendam suatu permasalahan yang sangat personal. Bang Husni, cucu angkat Kakek yang tinggal serumah dengan keluarganya, melecehkan tokoh “aku” secara seksual yang menyebabkan “aku” sukar buang air kecil pada keesokan harinya. Perhatikanlah kutipan cerpen Pohon Kersen tersebut: “Tubuhku panas, sepertinya demam. “Pohon kersen itu jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba dahiku. “Kita lihat nanti,” jawabnya. Sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku menangis. Apakah kakek mengetahuinya? (Hal. 11)

Begitulah Linda menghadirkan sebuah pengalamana penistaan yang kerap dilakukan oleh orang-orang yang berada dilingkungan terdekat. Akan tetapi, tokoh ‘aku’ dalam cerpen Pohon Kersen tersebut punya cara lain agar ia bisa mengalihkan pikirannya terhadap kekelaman itu. ‘Aku’ mengalihkannya pada pohon kersen di halaman rumahnya yang pada musim tertentu melulu dirimbuni ulat dan akan ditebang itu. Pohon kersen yang di atasnya ingin dibangunnya sebuah rumah pohon, agar “aku” tak perlu ke kamar mandi setiap malam ketika kepingin buang air kecil—kebiasaan yang dimanfaatkan Bang Husni untuk merayu dan kemudian “melecehkannya”.

Kekelaman, kemuraman, kedukaan versi lain juga dihadirkan melalui cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu. Pada cerita ini, Linda seperti ingin mengatakan tidak selamanya pula perempuan dijadikan objek pelecehan sebagaimana yang dialami tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen. Pada cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu Linda justru mematahkan anggapan tidak selamanya perempuan yang jadi korban, lelaki pun bisa dijadikan objek pelecahan. Kali ini, bukan seorang Bang Husin (orang yang melecahkan tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen) yang notabenenya adalah orang biasa. Melainkan oleh seorang guru mengaji yang kerap menghukum anak didiknya yang tidak dapat menghafalkan atau salah melafalkan ayat Al-Quran. Pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya adalah sebuah realitas yang juga dapat kita saksikan di layar televisi kita.

Guru mengajinya menghukum murid laki-laki maupun perempuan di kamar gelap tiap kali mereka salah melafalkan ayat. Akibat hukuman itu ia sukar buang air besar berminggu-minggu. Dua teman perempuannya tidak datang mengaji lagi. Orang-orang kampung berbisik-bisik keduanya hamil gara-gara tidak sanggup mengucap ayat-ayat suci dengan benar. “Sebaik-baiknya hukuman lebih baik datang dari manusia sebelum hukuman dari Allah yang lebih dahsyat itu membakar dan memanggang kamu semua di api neraka,” kata sang guru, dengan suara diseram-seramkan..” (Hal. 34)

Begitulah Linda hadir di tengah khasanah sastra Indonesia dengan memunculkan cerita-cerita yang muncul atas fenomena kelam yang hadir di kehidupan kita. Kehidupan masyarakat kita yang di dalamnya terdapat beragam problema sosial sampai problema personal yang mungkin tidak akan diketahui oleh orang lain. Buku Rahasia Selma ini di tahun 2010 lalu juga meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010 untuk kategori buku prosa. Barangkali, buku ini bisa menjadi buku yang akan menambah koleksi buku fiksi Anda. Selamat menjelajahi rumah fiksi Linda Christanty yang mencekam.


-----------------------------
Dodi Prananda lahir di Padang, Sumatra Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan Simpang masuk dalam Antologi ‘Sehadapan’ (Rayakultura Press, 2010) Antologi Peraih Anugerah Lipe Ice Selsun Golden Award 2010, Antologi Misteri Tas Merah Jambu (Kompas Gramedia, 2010) dan Negeri Kesunda (Antologi Pemenang Lomba Cerpen IAIN Imam Bonjol Se-Indonesia). Aktif berkegiatan di Yayasan Citra Budaya Indonesia – Sumatra Barat, Sanggar Sastra Pelangi Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar