Rabu, 19 Mei 2010

Kelinci Bernama Tumi



Oleh Dodi Prananda



Gina masih sesenggukan di dalam kamarnya. Semenjak Tumi, kelinci kesayangannya hilang tadi malam Gina jadi pemurung. Ia sering main dikamar. Enggan keluar kamar. Hilangnya Tumi membuat Gina menjadi banyak berubah. Tumi adalah sahabat terbaik Gina. Kalau Gina malas belajar, maka ia akan membawa Tumi ke dalam kamarnya. Tumi seperti berbicara dengannya, seolah-olah teman yang mengerti akan dirinya. Sekarang, sehari setelah hilangnya Tumi, Gina masih belum beranjak dari kesedihannya.
Tumi dibeli Gina dari toko hewan di luar kota. Waktu itu ia bersama keluarga jalan-jalan ke Jakarta. Mama singgah sebentar untuk mencari ikan hias, sebab ikan di aquarium sudah banyak yang mati.


Makanya Mama meminta Papa waktu itu mampir ke toko hewan. Amazing Pet Shop, begitu nama toko yang menjual berbagai macam binatang peliharan itu. Mulai dari kucing, anjing, ikan, kura-kura sampai berbagai macam burung. Waktu Mama memilih ikan bersama Papa, Gina memilih tinggal di mobil. Karena lama, Gina jadi tak betah. Ia turun dari mobil. Ia menemui Mama yang tampak masih sibuk memilih ikan hias.
Gina memperhatikan semua hewan-hewan yang dijual di toko itu. Ia melihat burung beo yang sangat berisik, ia juga melihat anjing yang menatap ke arahnya. Tiba-tiba mata Gina tertuju pada keranjang yang berisi berbagai macam kelinci. Gina tertarik. Ia menghampiri kelinci-kelinci itu. Ia menyentuhnya. Lembut. Bulu-bulunya yang berwarna putih dan hitam sungguh menawan.



“Kelinci yang manis!” ujar Gina.
Gina mengambil salah seekor kelinci yang berbulu putih dan hitam. Kelinci yang bulunya sangat bersih dan tebal. Gina mengelus-elus bulunya dengan lembut. Ia menempelkan kelinci itu ke pipinya, seperti dicium. Ketika Gina ingin menaruh lagi ke keranjang, kelinci itu tidak mau turun dari tangan Gina. Ia masih ingin dibelai Gina.



“Sepertinya kelinci itu suka padamu, Gin” sahut Mama tiba-tiba.
Gina mengangguk.


Akhirnya kelinci itu dibeli Mama. Sang pemilik toko ikut tersenyum waktu itu melihat kelincinya sangat lengket dengan Gina. Padahal baru bertemu pertama kalinya. Sampai di rumah kelinci diletakkan di sebuah tempat, kotak kecil yang dialas dengan kain-kain bekas. Itulah rumah kelinci sementara. Kelinci itu diberi nama Tumi. Nama yang sangat bagus untuk seekor kelinci yang imut, manis, dan menarik. Tumi itu adalah nama kucing Fani, teman sekelas Gina yang sudah meninggal karena tertabrak motor.


Rumah sementara itu akhirnya ditukar dengan kandang yang sangat bagus buatan Papa. Kandang itu dihias oleh Gina menjadi kandang yang luar biasa cantiknya. Sama cantiknya dengan kelinci itu. Kalau ada waktu Gina akan mengajak Tumi bermain di taman rumput belakang Rumah.


Sekarang kelinci itu sudah menghilang. Entah siapa yang mencurinya. Kalau saja Gina tidak teledor memasang kunci kandang Tumi, mungkin Tumi tidak lepas. Mungkin Tumi tidak hilang. Semua salah Gina. Gina sangat menyesali ketidaktelitiannya.


Gina tidak bisa melupakan kenangannya bersama Tumi. Ia sangat senan bermain dengan Tumi. Kalau tidak dengan Tumi yang menemaninya membuat PR, pasti Gina tidak akan membuatnya. Tumi membuat dirinya semangat. Tumi selalu membuat ia tersenyum.
Tumi adalah kelinci paling lincah yang pernah ditemui Gina. Kalau Gina kedinginan, ia akan bergerak menuju tubuh Gina. Gina pun langsung memeluknya. Mendekapnya dengan erat. Lalu giliran Gina yang membelai bulu-bulu halus nan lembut itu. Tumi jadi tersipu waktu itu.



Sekarang Tumi tidak ada. Tidak ada yang menbuat Gina menjadi semangat. Tidak ada lagi yang memeluk Gina kalau Gina ingin didekap. Tidak ada lagi yang membuat Gina bergerak cepat mengerjakan PR.



“Gin, Gina, ada Fani nih yang nyari kamu sayang,”ujar Mama sambil mengetuk pintu kamar Gina. Mama membuka gagang pintu kamar anaknya itu. Dilihatnya Gina sedang bersembunyi di dalam selimut. Mungkin menyembunyikan kesedihannya.
Fani masuk ke kamar Gina. Mama pun keluar, menutup pintu kamar Gina rapat-rapat. Fani berjalan mendekati ranjang Gina. Ia lihat sahabatnya itu tampak sangat sedih. Fani duduk si sisi Gina.



“Gin, Gina, ini Fani, Gin ada yang mau aku bilang sama kamu,” ujar Fani memulai obrolan.
Gina tidak menjawab dari balik selimutnya. Masih terdengar isak-isak kecil ditelinga Fani. Fani menatap kandang Tumi yang sudah kosong dan acak-acakkan. Fani ingin meneruskan kalimatnya, tapi ia tahan. Ia tunggu Gina menjawab. Tapi ketika Fani ingin menyambung, Gina buru-buru memotong. Ia bangkit dari dalam selimut. Lantas memeluk Fani dengan sangat erat.

“Aku ingin Tumi kembali, Fan” jawab Gina sambil menangis.
“Aku juga pernah merasakan hal yang seperti ini juga Gin. Kamu tahu betapa ibanya hati ini kucing yang tidak berdosa itu ditabrak oleh motor yang lewat di gang rumahku. Kita sama-sama pernah kehilangan Tumi, sahabat kita. Dan sekarang…”
Gina menatap bola mata teman sebangkunya itu. Ia tatap sekali lagi. Benar, Fani tak kalah sedihnya sewaktu kehilangan Tumi, kucing kesayangannya, sama halnya ketika dirinya kehilangan Tumi. Bahkan waktu itu, Gina sendiri yang datang ke rumah Fani untuk menghiburnya. Gina masih teringat waktu itu. Fani tidak mau makan selama seminggu. Ia tidak henti-henti menangisi kematian kucing berwarna coklat dan putih itu.



“Dan sekarang aku sudah punya pengganti Tumi, sekarang bukan kucing, tapi anjing mungil yang sangat imut,” ucap Fani. Gina menyeka airmata yang masih menetes. Ia berusaha untuk tidak lagi bersedih. Ia peluk Fani sekali lagi. Kali ini lebih erat. Lebih erat dari waktu ketika Fani sedang bersedih karena kematian Tumi.
“Aku boleh lihat pengganti Tumi?” sahut Gina yang mencoba tersenyum.
“Ayo, kita lihat dia diluar, aku bawa dia kesini”
Fani memegang tangan Gina. Ia rangkul tubuh sahabatnya itu. Mama jadi kaget sewaktu melihat Fani berhasil membujuk Gina keluar dari kamar. Keduanya bergegas menuju beranda rumah. Diberanda rumah sudah menanti dua ekor anak anjing yang sungguh imut dan mungil.


“Lho, kok dua anak anjingnya Fan?” tanya Gina.
“Ya, karena satu ini punyaku, dan satu untukmu Gina, anggap ini pengganti Tumi, kelinci kesayanganmu itu,” jawab Fani.
Senyum mengembang diwajah Gina.
“Bagaimana kalau kita ajak kedua ekor anak anjing pengganti Tumi ini berjalan-jalan keliling komplek?” sahut Fani tiba-tiba.
“Ide bagus!”
Gina segera memasang sandal. Lalu keduanya berjalan kelinci mengarak dua ekor anak anjing itu. Gina dan Fani memegang dengan erat rantai yang terpasang di kepala anjing itu. Ia tidak ingin hal yang sama terulang kembali.
Ketika melewati ujung kompleks, di dekat rumah Bu Sur yang memiliki anjing yang sangat jahat, Gina dan Fani berhenti sejenak. Mereka menunggu anjing yang suka menggigit orang itu sampai masuk ke dalam kandangnya. Setelah memastikan anjing itu masuk barulah keduanya meneruskan perjalanan.
Namun yang tidak disangka, tepat di dekat parit kecil di samping rumah Bu Sur, Gina menemukan sesuatu yang menarik matanya. Ia melihat bangkai seekor binatang. Ia pastikan sekali lagi. Ia amati secara teliti. Benar, itu adalah Tumi, kelinci kesayangan. Ia menemukan Tumi dalam keadaan yang sangat menyedihkan dan sudah meninggal. Leher Tumi penuh bercak-bercak darah, seperti bekas digigit. Gina tahu siapa pelakunya.


Ia membawa bangkai Tumi, kelinci kesayangannya itu pulang. Ia akan menguburkannya di belakang rumahnya. Tapi, kali ini Gina tidak lagi bersedih. Ia sudah punya pengganti Tumi.


Padang, 6 September 2009


(Naskah Ini Kategori Cerpen Anak, Dimuat di Padang Ekspres)

Kamar Bujang



Oleh Dodi Prananda




Saya akan berubah kesal ketika Tante Rika menyalahkan saya tentang kejadian itu. Waktu itu saya melakukan kesalahan yang bagi saya memang tidak masuk akal untuk diperdebatkan. Sampai-sampai malam itu saya kabur dari rumah.


Tidak ada salahnya saya ceritakan, cerita ini. Malam itu saya salah memasang obat nyamuk untuk kamar bujang. Kamar bujang. Singkat saja kenapa namanya kamar bujang. Karena ada banyak para bujang yang tidur dikamar yang berukuran sangat kecil ini. Banyak bujang dikamar ini? Bagi saya tiga orang laki-laki bujang yang tidur dikamar yang sempit ini saya katakan banyak. Tiga orang bujang itu saya, anak laki-laki semata wayang tante Rika dan satu lagi sepupu saya yang baru pulang dari Pekanbaru.


Oleh karena kamar bujang ini kecilah makanya asap obat nyamuk yang saya pasang langsung membubung dan asapnya memenuhi seluruh kamar. Esok harinya Tante Rika menemukan anaknya yang sudah hampir tamat sekolah itu batuk-batuk. Tante Rika marah besar kepada saya. Saya dimaki-makinya.

Tante Rika orang yang sangat sibuk. Ia punya bisnis disana sini. Bisnis cateringnya cukup sukses, cabangnya disana-sini. Belum lagi bisnis butik bajunya. Membuat Tante Rika menjadi jarang dirumah. Jarang membersihkan rumah. Tapi untuk memarahi saya sewaktu saya salah memasang obat nyamuk itu, saya tidak tahu kenapa Tante Rika mempunyai waktu untuk itu.
Sebenarnya saya ingin keluar dari rumah gadang ini. Keluar dari kamar bujang. Saya muak ketika selalu saja tangan saya ini yang membersihkan kamar bujang. Kain-kain gordennya yang tersibak sembarangan. Kaca nakonya yang kusam dan berdebu. Langit-langitnya yang penuh dengan lawah. Selalu saja saya yang membersihkan. Kalau tidak tangan saya yang menutup kaca nako yang mengaga itu maka sampai malam hingga pagi kembali, kaca nako yang berdebu itu akan tetap seperti itu. Juga gordennya yang dibiarkan tersibak acak-acakkan. Saya juga yang menutupnya.


Anak laki-laki tante Rika itu tidak pernah menyentuhkan tangannya untuk hal ini. Ia tak pernah saya lihat membersihkan kamar bujang. Ia tidak pernah melakukan apa-apa untuk kamar. Jangankan membersihkan untuk kamar, membersihkan alas ranjangnya saja ia tak pernah. Ia lebih peduli dengan teman-teman seusianya yang silih berganti datang ke rumah untuk mengajaknya main keluar.


Sepupu saya yang datang dari Pekanbaru itu juga. Ia sama saja dengan anak Tante Rika. Selalu keluyuran. Pulang malam. Bahkan lima hari tidak pulang juga sering. Ia menikmati bergaul dengan teman-temannya yang ia katanya ditakuti banyak orang itu. Akh, bagi saya ditakuti banyak orang itu belum apa-apa. Saya tahu semenjak tinggal di rumah gadang sepupu saya dari Pekanbaru itu jadi berubah berandalan. Urakan.


Saya sering pulang dari sekolah saya dan menemukan kamar bujang berantakan ketika sampai di rumah gadang. Kaca nakonya dibiarkan mengaga, padahal hari sudah senja. Nyamuk-nyamuk pun berdenging keras ditelinga saya, seolah menambah kesal dihati ini. Dan kalau bukan tangan saya yang membeli dan memasang obat nyamuk untuk kamar bujang ini, maka nyamuk-nyamuk akan terus bersarang dan mendenging keras di kamar ini.



Saya lirik ketiga kasur kapuk yang sengaja diayakkan dilantai. Saya tahu kalau Sepupu saya yang dari Pekanbaru itu baru saja membawa teman-temannya yang urakkan itu ke kamar. Siapa juga yang akan menegurnya, Tante Rika? Tante Rika sibuk dengan cateringnya. Tak ada waktunya semenit atau sedetik saja sekadar mengurusi kamar bujang ini.
Akh, saya muak dengan semua ini.


Saya yakin sepupu saya itu membawa lebih dari lima orang temannya. Sehingga kamar yang padahal sempit ini jadi serba berantakan. Kain gordennya, pajangan kamarnya, sampai ke kasurnya. Tidak hanya kasur anak laki-laki Tante Rika atau kasur sepupu saya itu yang kusut dan berantakan. Tapi juga kasur saya. Terpaksa malam itu saya tidur diatus kasur yang telah diinjak-injak banyak orang. Di atas kasur yang seprainya hitam, kumal dan dekil. Uh, kepada siapa saya lepaskan amarah ini.



Saya juga menemukan puntung-puntung rokok di kamar bujang. Pasti sepupu saya dan teman-temannya itu yang merokok. Kalau bukan dia siapa lagi? Suami Tante Rika? Mana mungkin, ia pulang sekali sebulan karena mengurusi proyek diluar kota. Tidak hanya puntungnya yang membuat saya risih dan ingin marah, tapi bekas kepul asapnya menusuk hidung saya. Saya benci asap rokok yang mengelaba di kamar bujang ini. Saya benci dengan piring-piring kotor yang dibiarkan saja terayak sembarangan dilantai. Saya benci dengan raungan atau denging bunyi nyamuk yang lewat di kuping saya.



Saya sabarkan hati saya. Tak ada gunanya saya marah-marah. Lagian kalau saya boleh marah, kepada siapa coba? Saya selalu meredam emosi saya dan membuangnya jauh-jauh kalau hal yang membuat saya muak ini terulang kembali. Saya juga yang akhirnya membuang puntung-puntung rokok yang berserakkan dilantai kamar bujang. Saya juga yang akhirnya merapikan kamar bujang. Mencuci piring-piring kotor, merapikan seprai saya yang dibuat acak-acak dan kusut, sampai menutup kaca nako yang menganga. Padahal saya sudah capek, karena saya baru pulang dari sekolah.


***


Tante Rika memang orang sibuk. Ia tak punya waktu untuk berada dirumah. Ia selalu sibuk mengurusi bisnisnya. Saya tidak mempunyai banyak alasan untuk mengatakan bahwa saya ingin Tante Rika berada di rumah. Saya ingin Tante Rika mau tahu dengan rasa muak saya selama ini tentang catatan kehidupan saya di kamar bujang ini. Saya ingin membuat Tante Rika tahu bahwa yang selama ini menghabiskan sambal makanan malam bukan saya, tapi sepupu saya yang baru pulang dari Pekanbaru itu. Dia yang membawa kawan-kawannya yang urakkan dan berandalan itu ke rumah dan membuat kamar bujang jadi berantakan, membuat saya harus sabar membersihkan kamar bujang yang jadi berantakan. Belum lagi tentang piring kotor yang dibiarkan terayak sembarangan di kamar bujang. Saya juga membersihkannya.



Saya sudah mencoba untuk membiarkan saja piring itu tergelatak di depan kamar bujang berhari-hari. Saya biarkan berminggu-minggu, sampai-sampai piring kotor yang bergenang air diatasnya itu bercendawan. Saya pula yang menjadi jijik. Saya lakukan itu agar Tante Rika bahwa yang makan berpiring-piring itu bukan saya, tapi sepupu saya itu dan teman-temannya yang urakkan dan berandalan.


Tapi Tante Rika tak mau tahu. Ia tak hirau dengan ucapan saya. Tante Rika malah menuding saya sebagai anak yang paituang jariah. Saya diupat-umpatinya. Akh, saya muak menjadi serba salah seperti ini. Saya biarkan bukti piring kotor itu bahwa pertanda bukan saya yang makan berpiring-piring dan menghabiskan makanan sambal malam, saya juga kena marah. Saya bersihkan piring kotor itu, tuduhan bahwa saya anak yang rakus, makan berpiring-piring dan menghabiskan sambal malam, acap kali saya terima. Membuat panas kuping saya. Membuat saya ingin melepaskan semua amarah untuk marah. Akh, sudahlah.


***


Saya tahu Tante Rika itu pelit. Ia selalu tidak mau uangnya keluar untuk membersihkan rumah. Ia lebih rela mengeluarkan uang untuk laki-laki gundiknya daripada harus mengeluarkan uang untuk membeli sapu pel. Saya tahu lantai rumah gadang yang kini ditempati ini sudah dua tahun tidak pernah dipel. Saya tahu sekali lantai rumah gadang ini terakhir kali dipel dan bersihkan sebelum ibu saya masuk rumah sakit. Sebelum ibu saya meninggal dunia. Sebelum ayah saya pergi mencari istri baru dan meninggalkan saya.



Saya selalu menjalani hidup saya tanpa ibu dengan kata-kata yang selalu dingiang-ngiangkan ke telinga saya. Ibu selalu menginginkan saya menjadi anak yang tidak pernah menyerah. Ibu mengajarkan saya menjadi anak yang sabar. Ibu mengingkan saya menjadi anak yang cinta kebersihan. Ibu juga mengajarkan saya untuk belajar ikhlas melakukan apapun. Banyak yang diajarkan ibu kepada saya.


Beruntung saya orang yang hemat. Saya hidup dengan uang tabungan. Saya hidup karena kegigihan saya untuk meminta uang bulanan pada ayah dirumah istri barunya.
Sedangkan Tante tidak mau tahu. Tidak mau tahu bahwa kain gorden rumah gadang sudah kumal dan dekil. Tante Rika tak mau tahu bahwa kamar bujang sangat berantakan dan tak terurus. Tidak mau tahu bahwa lantai rumah sudah berdebu. Tapi satu yang ia tahu, bagaimana caranya untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya setelah ia menggadaikan berjam-jam waktu.
Hari ini saya memilih untuk libur sekolah. Sengaja saya bolos sekolah karena saya ingin membersihkan rumah. Rumah gadang yang atapnya banyak lawah. Dari pagi hingga hari menjelang sore kerja saya terus membersihakan rumah gadang. Saya ingin membereskan barang-barang yang terayak sembarangan agar rumah gadang tidak lagi mirip gudang. Saya ingin membuat Tante Rika tahu bahwa yang selama ini sering merapikan rumah bukan anak semata wayangnya itu, tapi saya.


Sebenarnya saya kesal dengan anak laki-laki semata wayang Tante Rika itu. Sudah jelas-jelas saya yang mencuci kain gorden, dia pula yang mengaku bahwa dialah yang telah mencucinya. Padahal saya mendengar pembicaraannya. Padahal sayalah yang sebenarnya yang mencuci, bukan anak Tante Rika. Ketika saya katakan bahwa saya mencuci kain gorden itu kepada Tante Rika, saya dikatakan cari muka oleh anaknya.



Saya merasa sangat capek hari ini. Di kamar bujang yang banyak sekali lawah diatas langit-langitnya sudah saya bersihkan pula. Lantainya saya pel. Kain gordennya saya cuci, debu tebal yang menempel dikaca nako saya bersihkan juga. Tanpa mengumpat-umpat sedikitpun saya bersihkan rumah gadang. Saya rela ketinggalan pelajar demi rumah gadang, demi kamar bujang.




Saya sapu lantai kamar bujang berkali-kali sampai lantainya tidak lagi kesat. Saya bersihkan semuanya. Termasuk mencuci piring-piring kotor yang bergenang air itu. Saya lakukan semua dengan ikhlas tanpa umpatan. Dengan tulus tanpa sedikitpun sumpah serapah.
Lalu saya mandi. Usai mandi saya terkejut bukan main. Saya melihat kamar bujang berantakan kembali. Kain seprai ranjang yang sudah saya rapikan dikusutkan oleh sepupu saya itu dan teman-temannya. Lantai yang sudah saya sapu berkali-kali jadi kotor kembali. Piring kotor yang baru saja saya cuci ada lagi.



Akh, saya tidak bisa lagi menahan emosi saya. Lalu saya ingat kata ibu.
***


Dua hari setelah ibu meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya saya sudah mengasingkan jawaban. Saya akan tahu saya akan dihadapkan pada dua pilihan. Benar yang saya pikirkan, ayah menemui saya. Lalu ia tanyakan pada saya apakah saya akan tetap tinggal di rumah gadang ini atau menetap bersama ayah dan istri barunya disebuah rumah kompleks?


Saya sudah mengasingkan sebuah jawaban. Tinggal di rumah gadang.
Saya punya banyak alasan kenapa saya memilih untuk tinggal di rumah gadang. Saya harus mempertahankan rumah gadang agar tidak diruntuhkan. Sebab semua anak nenek sudah kaya-kaya. Tak ada yang peduli dengan rumah gadang. Kecuali ibu saya. Sedangkan Tante Rika tinggal di rumah gadang ini hanya karena terpaksa. Sebuah kata-kata yang menusuk hati saya. Kata-kata yang sangat bertolak bekalang sekali dengan ibu saya.


Lalu beberapa bulan saya jalani tinggal di rumah gadang. Saya belajar membaca perangai. Perangai Tante Rika dan perangai anak semata wayangnya. Beberapa hari setelah itu saya mendapat kabar bahwa sepupu saya , keponakan Tante Rika juga, dari Pekanbaru akan tinggal di rumah gadang untuk sementara waktu. Maka bertambahlah satu bujang lagi sebagai penghuni baru kamar bujang.



***


Saya tidak tahu dengan cara apa saya menjelaskan kepada Tante Rika tentang obat nyamuk itu. Saya perlihatkan obat nyamuk yang saya pasangkan dikamar bujang, sama persis dengan apa yang disuruhnya. Katanya saya salah beli obat nyamuk sehingga membuat anaknya yang manja dan memuakkan saya itu menjadi batuk-batuk.


Saya malah bertambah bingung dengan masalah baru ini.
Saya akan berubah kesal ketika Tante Rika menyalahkan saya lagi. Bagi saya masalah ini memang tidak masuk akal untuk diperdebatkan.



Oleh karena kamar bujang ini kecilah makanya asap obat nyamuk yang saya pasang langsung membubung dan asapnya memenuhi seluruh kamar. Esok harinya Tante Rika menemukan anaknya yang sudah hampir tamat sekolah itu batuk-batuk.
Tante Rika marah besar kepada saya. Saya dimaki-makinya. Padahal saya sudah beri alasan dan penjelasan bahwa anaknya itu bukan batuk-batuk karena obat nyamuk yang salah pasang itu, tapi karena pengaruh teman-temannya.
Saya tidak tahu persis ini kali keberapa Tante Rika memarahi saya. Saya kena maki. Saya mendapat sumpah serapah. Lalu saya memilih kabur dari rumah. Untuk selama-lamanya, akh, entah!

***


Saya sedang bersembunyi di sebuah rumah. Dari rumah sini saya tahu bahwa Tante Rika sedang mengkhwatirkan saya. Saya bisa membaca bahwa Tante Rika sudah tahu sebenarnya kenapa anaknya itu sering batuk-batuk. Saya tahu bahwa beberapa hari yang lewat Tante Rika memergoki anaknya itu ternyata hobi merokok. Saya juga tahu bahwa Tante Rika sudah mendapat jawaban tentang sambal makan malam dan nasi yang habis mendadak itu bukan ulah saya. Sebab saya sudah tidak ada lagi di rumah gadang. Saya kira Tante Rika sudah tahu semuanya.
Sampai hari ini sudah lima bulan saya meninggalkan rumah gadang. Saya yakin kamar bujang akan semakin berdebu.

Padang, 29 Mei 2009 22;10 PM



(Cerpen ini dimuat di Singgalang Minggu, 02 Mei 2010)