Rabu, 19 Mei 2010

Kelinci Bernama Tumi



Oleh Dodi Prananda



Gina masih sesenggukan di dalam kamarnya. Semenjak Tumi, kelinci kesayangannya hilang tadi malam Gina jadi pemurung. Ia sering main dikamar. Enggan keluar kamar. Hilangnya Tumi membuat Gina menjadi banyak berubah. Tumi adalah sahabat terbaik Gina. Kalau Gina malas belajar, maka ia akan membawa Tumi ke dalam kamarnya. Tumi seperti berbicara dengannya, seolah-olah teman yang mengerti akan dirinya. Sekarang, sehari setelah hilangnya Tumi, Gina masih belum beranjak dari kesedihannya.
Tumi dibeli Gina dari toko hewan di luar kota. Waktu itu ia bersama keluarga jalan-jalan ke Jakarta. Mama singgah sebentar untuk mencari ikan hias, sebab ikan di aquarium sudah banyak yang mati.


Makanya Mama meminta Papa waktu itu mampir ke toko hewan. Amazing Pet Shop, begitu nama toko yang menjual berbagai macam binatang peliharan itu. Mulai dari kucing, anjing, ikan, kura-kura sampai berbagai macam burung. Waktu Mama memilih ikan bersama Papa, Gina memilih tinggal di mobil. Karena lama, Gina jadi tak betah. Ia turun dari mobil. Ia menemui Mama yang tampak masih sibuk memilih ikan hias.
Gina memperhatikan semua hewan-hewan yang dijual di toko itu. Ia melihat burung beo yang sangat berisik, ia juga melihat anjing yang menatap ke arahnya. Tiba-tiba mata Gina tertuju pada keranjang yang berisi berbagai macam kelinci. Gina tertarik. Ia menghampiri kelinci-kelinci itu. Ia menyentuhnya. Lembut. Bulu-bulunya yang berwarna putih dan hitam sungguh menawan.



“Kelinci yang manis!” ujar Gina.
Gina mengambil salah seekor kelinci yang berbulu putih dan hitam. Kelinci yang bulunya sangat bersih dan tebal. Gina mengelus-elus bulunya dengan lembut. Ia menempelkan kelinci itu ke pipinya, seperti dicium. Ketika Gina ingin menaruh lagi ke keranjang, kelinci itu tidak mau turun dari tangan Gina. Ia masih ingin dibelai Gina.



“Sepertinya kelinci itu suka padamu, Gin” sahut Mama tiba-tiba.
Gina mengangguk.


Akhirnya kelinci itu dibeli Mama. Sang pemilik toko ikut tersenyum waktu itu melihat kelincinya sangat lengket dengan Gina. Padahal baru bertemu pertama kalinya. Sampai di rumah kelinci diletakkan di sebuah tempat, kotak kecil yang dialas dengan kain-kain bekas. Itulah rumah kelinci sementara. Kelinci itu diberi nama Tumi. Nama yang sangat bagus untuk seekor kelinci yang imut, manis, dan menarik. Tumi itu adalah nama kucing Fani, teman sekelas Gina yang sudah meninggal karena tertabrak motor.


Rumah sementara itu akhirnya ditukar dengan kandang yang sangat bagus buatan Papa. Kandang itu dihias oleh Gina menjadi kandang yang luar biasa cantiknya. Sama cantiknya dengan kelinci itu. Kalau ada waktu Gina akan mengajak Tumi bermain di taman rumput belakang Rumah.


Sekarang kelinci itu sudah menghilang. Entah siapa yang mencurinya. Kalau saja Gina tidak teledor memasang kunci kandang Tumi, mungkin Tumi tidak lepas. Mungkin Tumi tidak hilang. Semua salah Gina. Gina sangat menyesali ketidaktelitiannya.


Gina tidak bisa melupakan kenangannya bersama Tumi. Ia sangat senan bermain dengan Tumi. Kalau tidak dengan Tumi yang menemaninya membuat PR, pasti Gina tidak akan membuatnya. Tumi membuat dirinya semangat. Tumi selalu membuat ia tersenyum.
Tumi adalah kelinci paling lincah yang pernah ditemui Gina. Kalau Gina kedinginan, ia akan bergerak menuju tubuh Gina. Gina pun langsung memeluknya. Mendekapnya dengan erat. Lalu giliran Gina yang membelai bulu-bulu halus nan lembut itu. Tumi jadi tersipu waktu itu.



Sekarang Tumi tidak ada. Tidak ada yang menbuat Gina menjadi semangat. Tidak ada lagi yang memeluk Gina kalau Gina ingin didekap. Tidak ada lagi yang membuat Gina bergerak cepat mengerjakan PR.



“Gin, Gina, ada Fani nih yang nyari kamu sayang,”ujar Mama sambil mengetuk pintu kamar Gina. Mama membuka gagang pintu kamar anaknya itu. Dilihatnya Gina sedang bersembunyi di dalam selimut. Mungkin menyembunyikan kesedihannya.
Fani masuk ke kamar Gina. Mama pun keluar, menutup pintu kamar Gina rapat-rapat. Fani berjalan mendekati ranjang Gina. Ia lihat sahabatnya itu tampak sangat sedih. Fani duduk si sisi Gina.



“Gin, Gina, ini Fani, Gin ada yang mau aku bilang sama kamu,” ujar Fani memulai obrolan.
Gina tidak menjawab dari balik selimutnya. Masih terdengar isak-isak kecil ditelinga Fani. Fani menatap kandang Tumi yang sudah kosong dan acak-acakkan. Fani ingin meneruskan kalimatnya, tapi ia tahan. Ia tunggu Gina menjawab. Tapi ketika Fani ingin menyambung, Gina buru-buru memotong. Ia bangkit dari dalam selimut. Lantas memeluk Fani dengan sangat erat.

“Aku ingin Tumi kembali, Fan” jawab Gina sambil menangis.
“Aku juga pernah merasakan hal yang seperti ini juga Gin. Kamu tahu betapa ibanya hati ini kucing yang tidak berdosa itu ditabrak oleh motor yang lewat di gang rumahku. Kita sama-sama pernah kehilangan Tumi, sahabat kita. Dan sekarang…”
Gina menatap bola mata teman sebangkunya itu. Ia tatap sekali lagi. Benar, Fani tak kalah sedihnya sewaktu kehilangan Tumi, kucing kesayangannya, sama halnya ketika dirinya kehilangan Tumi. Bahkan waktu itu, Gina sendiri yang datang ke rumah Fani untuk menghiburnya. Gina masih teringat waktu itu. Fani tidak mau makan selama seminggu. Ia tidak henti-henti menangisi kematian kucing berwarna coklat dan putih itu.



“Dan sekarang aku sudah punya pengganti Tumi, sekarang bukan kucing, tapi anjing mungil yang sangat imut,” ucap Fani. Gina menyeka airmata yang masih menetes. Ia berusaha untuk tidak lagi bersedih. Ia peluk Fani sekali lagi. Kali ini lebih erat. Lebih erat dari waktu ketika Fani sedang bersedih karena kematian Tumi.
“Aku boleh lihat pengganti Tumi?” sahut Gina yang mencoba tersenyum.
“Ayo, kita lihat dia diluar, aku bawa dia kesini”
Fani memegang tangan Gina. Ia rangkul tubuh sahabatnya itu. Mama jadi kaget sewaktu melihat Fani berhasil membujuk Gina keluar dari kamar. Keduanya bergegas menuju beranda rumah. Diberanda rumah sudah menanti dua ekor anak anjing yang sungguh imut dan mungil.


“Lho, kok dua anak anjingnya Fan?” tanya Gina.
“Ya, karena satu ini punyaku, dan satu untukmu Gina, anggap ini pengganti Tumi, kelinci kesayanganmu itu,” jawab Fani.
Senyum mengembang diwajah Gina.
“Bagaimana kalau kita ajak kedua ekor anak anjing pengganti Tumi ini berjalan-jalan keliling komplek?” sahut Fani tiba-tiba.
“Ide bagus!”
Gina segera memasang sandal. Lalu keduanya berjalan kelinci mengarak dua ekor anak anjing itu. Gina dan Fani memegang dengan erat rantai yang terpasang di kepala anjing itu. Ia tidak ingin hal yang sama terulang kembali.
Ketika melewati ujung kompleks, di dekat rumah Bu Sur yang memiliki anjing yang sangat jahat, Gina dan Fani berhenti sejenak. Mereka menunggu anjing yang suka menggigit orang itu sampai masuk ke dalam kandangnya. Setelah memastikan anjing itu masuk barulah keduanya meneruskan perjalanan.
Namun yang tidak disangka, tepat di dekat parit kecil di samping rumah Bu Sur, Gina menemukan sesuatu yang menarik matanya. Ia melihat bangkai seekor binatang. Ia pastikan sekali lagi. Ia amati secara teliti. Benar, itu adalah Tumi, kelinci kesayangan. Ia menemukan Tumi dalam keadaan yang sangat menyedihkan dan sudah meninggal. Leher Tumi penuh bercak-bercak darah, seperti bekas digigit. Gina tahu siapa pelakunya.


Ia membawa bangkai Tumi, kelinci kesayangannya itu pulang. Ia akan menguburkannya di belakang rumahnya. Tapi, kali ini Gina tidak lagi bersedih. Ia sudah punya pengganti Tumi.


Padang, 6 September 2009


(Naskah Ini Kategori Cerpen Anak, Dimuat di Padang Ekspres)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar