Kamis, 21 Agustus 2008

cerpen

ANAK PENJUAL KORAN

Oleh Dodi Prananda

(cerpen ini di muat pada halaman cerita anak Haluan Minggu 24 Agustus 2008)

Memang benar ia bukan anak yang beruntung di banding dengan teman-temannya yang lain. Ayahnya hanyalah seorang penjual koran. Sedang ibunya meninggal dunia pada saat melahirkan yang kecil.

Setiap hari anak penjual koran itu selalu di jadikan bahan ejekan oleh teman-temannya. Tapi, ia tetap menahan semua ocehan yang membuat hatinya terluka di dalam hati.

“Kamu kenapa, setiap hari selalu Ibu lihat bermenung?”tiba-tiba Bu Sinta, guru bahasa Indonesia mengaggetkan anak kumal itu.

“Saya malu Buk!”

“Malu kenapa?”

“Orang tua saya hanya seorang penjual koran yang miskin. Tidak seperti teman saya yang selalu di antar dan di jemput oleh orang tuanya!”anak kumal itu

tiba-tiba menangis.

Bu Sinta jadi ikut sedih. Bu Sinta juga heran dan tidak tahu cara membuat anak kumal itu dapat berteman dengan teman-temannya yang lain. Bu sinta turut prihatin dengan keadaan anak itu.

“Ya sudah kalau begitu nanti ibu akan ajak bicara anak yang lain, agar mereka mau berteman denganmu!”ucap Bu sinta memecahkan masalah.

“Tapi buk! Tak ada yang mau berteman denganku. Lihat saja sepatu mereka. Mereka selalu ganti sepatu tiap hari. Sedang saya, ..untuk makan saja ayah sudah!”omongan anak penjual koran itu terputus.

***

Hari ini kelas sangat ribut. Katanya Amanda yang merupakan anak terkaya di sekolah itu kehilangan dompetnya. Amanda tetap menuduh anak penjual koran itu yang mengambilnya. Tapi anak penjual koran itu membantah.

“Hei, kalian kenapa ribut-ribut?”tanya Bu sinta yang mengajar hari ini di jam pertama.

“Ini bu, ada maling di sekolah kita, anak si penjual koran. Dasar kumal gembel maling!”Amanda tetap menuding anak penjual koran itu yang mengambilnya.

“Ya sudah, begini saja. Ibu akan periksa tas kalian satu-satu!”ucap Bu Sinta.

Akhirnya semua tas di geledah. Sampai saat ini belum ketahuan siapa pelaku sebenarnya. Dan tibalah di giliran anak penjual koran itu. Bu sinta memandang wajah anak penjual koran itu. Tiba-tiba semua perhatian tertuju pada sebuah dompet yang sedang berada di tangan Bu sinta. Bu sinta menemukannya di tas anak penjual koran itu.

“Tapi Bu! Bukan saya yang mengambil dompet itu. Ibu harus percaya pada saya!”anak penjual koran itu tetap membantah.

“Eh anak maling, sudah jelas-jelas kamu yang mengambil masih tetap saja membantah.

Bu sinta terpaksa membawa anak penjual koran yang kumal itu ke ruang majelis guru. Tapi dalam hatinya Bu sinta masih belum yakin, anak penjual koran yang pendiam, baik dan ramah itu melakukan semua ini.

“Bu, saya jujur. Bukan saya yang mengambil dompet Amanda”

Bu Sinta masih saja diam. Ia tak mendengar penjelasan yang di berikan oleh anak penjual koran itu.

“Benar Bu, bukan Mala yang melakukannya. Saya melihat sendiri kalau Amanda sendiri yang memasukkan ke tas Mala. Saya jadi saksinya bu,”tiba-tiba Bu Sinta dan Mala jadi terkejut dengan ucapan Kikan.

Bu Sinta lega, apa yang di pikirkannya benar kalau bukan Mala yang mengambil. Akhirnya Bu Sinta memanggil Amanda untuk di berikan hukuman. Sejak saat itu Mala jadi banyak teman dan Amanda kini di asingkan oleh teman-temannya yang lain. Sekian. Padang, 1 Juli 2008 Di pmails habis pulang jalan dari pasar raya 4 D( Disa, Dilla, Dodi, Doni) penulis adalah siswa SMA 1 PADANG.

kupu-kupu

“KUPU-KUPU TAK BERSAYAP”

Oleh Dodi Prananda

“Aku sudah kehilangan sayapku. Aku tak tahu dengan apa aku akan terbang lagi menggapai impianku untuk jadi kupu-kupu”ucapnya pelan dengan suara agak parau.

“Nggak lah! Aku bakalan memberikan sayap buatmu biar kamu bisa jadi kupu-kupu lagi”ucapku menenangkannya.

Gadis itu mendongak pada wajahku. Aku tahu ia sedang memendam rasa yang amat sangat menyakitkan. Ia tak hentinya memandang lehernya yang sedang di pasangkan Gip, juga pada kursi roda yang setia menemaninya.

Helena- gadis itu- meraih kaca solek yang berada tepat di sampingnya. Ia memandang wajahnya yang lecet karena luka bakar. Meskipun tatapannya nanar, tetap saja sebening kristal yang terlalu pahit untuk di teteskan akhirnya menetes juga.

Tak ada satupun yang bisa di harapkan Helena. Ia tahu tak ada lagi kesempatan kedua baginya untuk dapat lagi menjadi selebritis. Siapa yang tak kenal ia coba? Seorang bintang yang memiliki aura dan aku yakin tak ada indah seperti dirinya.

Tapi sekarang semua sudah menjadi hambar. Helena merasa ia telah kehilangan rasa untuk menggapai semuanya lagi. Tak akan ada lagi yang mau menatap wajahnya yang hancur berantakan. Padahal dulu, wajahnya yang cantik itu sering nongol di kaca televisi.

Ya, semua itu telah di rampas oleh kecelakaan itu. Kecelakaan yang tak pernah sebelumnya terfikirkan. Malam terkutuk itu adalah mimpi buruk bagi Helena.

Seandainya saja Helena menuruti perkataan orang tuanya pasti semua tak akan hancur berantakan seperti ini. Padahal mama Helena telah mengingatkan Helena untuk tidak mengikuti show malam itu.

“Len, sebaiknya kau tak usah datang ke show itu, toh hari juga udah malam. Nggak baik kalau wanita pergi malam-malam. Len, mama punya firasat nggak enak nih!!”ucap mama Helena sebelum Helena mengalami kecelakaan maut itu.

“Ma, aku nggak bisa menolak pada produsernya. Lagian, aku kan nyari duit nih! Masa’mama ngelarang sich??”

“Len, nyari nafkah itu bukan kewajiban kamu sayang!!”mama masih ngedumel.

“ Mama ini cerewet banget sich!!” Helena masih membantah. Ia tetap dengan pendiriannya untuk datang dan menghadiri show itu.

Kalau mengingat kejadian itu ingin rasanya Helena meminta Tuhan untuk memutar waktu kembali. Pasti ia tak akan menolak permintaan mamanya untuk datang ke Show itu agar semua tak jadi kacau seperti ini. Hidupnya terasa hambar. Tak ada yang bisa di harapkan Helena selain duduk dengan tatapan kosong di kursi rodanya.

“Len, kamu harus ingat kalau LIFE MUST GO ON!! Kan kamu yang bilang ke aku seperti itu. Kamu masih ingatkan??”aku masih berusaha membujuknya.

Dia masih bungkam dan menguci mulutnya. Hanya bola matanya saja yang menatapku. Tetap saja suaranya tak keluar untuk menjawab pertanyaanku. Sejenak ia merasakan dirinya tertegun.

“Terlambat!! Terlambat! Semua sudah terlambat. Nggak mungkin aku masih tetap bertuah pada kata-kata itu”balasnya

“Kamu harus janji padaku kalau kamu ingin jadi kupu-kupu lagi. Meski sekarang kamu nggak ada sayap buat terbang, tapi aku akan ajarkan kamu terbang ke angkasa sana untuk jadi bintang lagi. Kamu pasti bisa menjadi kupu-kupu yang terbang tanpa sayap”balasku.

Without wings?? However can i do??”

“I promise, I’ll give my wings for you. You will can fly again. You must believe it!!”ucapku sambil menyeka air matanya. Kemudian ku dorong kursi rodanya ke kamar. Mama Helena hanya menatap sekilas dengan mata berkaca-kaca. Ia tak kuasa melihat anaknya terdiam membisu seperti itu.

Aku biarkan sendiri Helena di kamarnya. Aku pulang tertikam kata-kata yang di lontarkan Helena tadi. Terlintas harapan di benakku dan sebuah keyakinan yang mengatakan kalau Helena masih bisa bermain di taman surganya, jadi kupu-kupu yang bisa terbang tanpa sayap. Meskipun ia telah kehilangan kedua belah sayapnya. Ia pasti masih bisa melihat wajah cantiknya yang hadir di layar televisi.

Aku masih bisu. Jiwa ku terbelenggu untuk dapat meyakinkan Helena kalau ia masih punya semangat untuk menatap hari-harinya. Aku berusaha untuk meyakinkan kalau Helena bisa terbang tanpa sayap. Terbang untuk menjadi bintang lagi ke angkasa. Jadi kupu-kupu tak bersayap. Ya ...!!!.~ Sekian.

“Padang, pertengahan Desember 2007 Buat: Mama yang selalu tercinta. Mama yang selalu memberikan motivasi untuk menulis. I Love You sSo Much!!”

Dodi Prananda. Lahir di Padang16 Oktober 1993. Sangat mencinta dunia sastra. Berbagai karyanya sudah banyak dimuat di Haluan, Singgalang, dan media cetak lainnya. Sekarang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya di SMA1 PADANG. Berharap karyanya bisa di muat di Koran nasional. Kini sedang di didik di sanggar sastra Pelangi.

cerpen cinta remaja"loving hurt"


Loving Hurt

Oleh Dodi Prananda

Aji melirik jam tangannya lagi. Melirik jam untuk yang kesekian kalinya. Padahal ia janji dengan Bebi sudah dari satu jam yang lalu. Tapi wajah Bebi tak jua kunjung datang. Aji hanya bisa menggaruk-garuk kepala melepaskan gerahnya.

Berkali-kali ia mencoba untuk menghubungi nomor Bebi. Setiap kali ia mencoba untuk menghubungi, setiap kali itu pula ia mendapatkan jawaban yang sama. Nomer Bebi sudah tak aktif lagi.

”Mbak, nanti kalau ada cewek ke sini bilang saja kalau orang yang tadi nunggu udah pergi,”ucap Aji pada seorang pelayan.

“Baik mas!!”pelayan itu menjawab dengan lembut.

Aji memilih untuk pergi meninggalkan kefe itu dan segera bergegas melepas gerahnya. Ia merasa teramat sangat bosan di jadikan permainan selama ini oleh Bebi. Salah ia juga, mengapa malam itu ia mengiyakan sekaligus menganggukan pernyataan cinta Bebi yang katanya cinta mati pada Aji. Toh, sekarang ini Aji merasa tak ada rasa ketulusan yang ia rasakan selalam pacaran dengan Bebi. Malahan ia terpaksa harus mencintai lukanya sendiri. Loving Hurt.

Tanpa pikir panjang Aji kembali membawa mobilnya meluncur menuju sebuah tempat. Sebuah tempat yang banyak menyimpan sejarah baginya. Sejarah yang manis juga sejarah yang pahit. Tak terasa Aji sampai di taman itu. Hanya sebuah taman apik yang di kerubungi berbagai bunga. Bunga yang menambah kesan romantis untuk pasangan yang sedang asyiknya memadu kasih mereka di taman sederhana itu. Sampai di sana Aji berjalan gontai. Aji menghempaskan tubuhnya ke sebuah pohon rindang yang sudah sering ia datangi bersama Bebi.

Aji jadi teringat waktu ia memadu kasih untuk yang pertama kalinya dengan Bebi di bawah pohon itu. Ia kian teringat kenangannya selepas hujan turun, ia berdua dengan Bebi di mandikan oleh gerimis yang terasa begitu romantis.

Aji jadi senyum sendiri. Kesan romantis yang hadir pada waktu itu membuat Bebi tertawa bersama Aji menyambut kebahagian cinta mereka berdua. Mengingat kenangan saat Bebi terbang bersama gerimis yang turun satu-satu dan Bebi mengepakkan kedua belah tanganya seperti hendak terbang ke awan, menirukan kupu-kupu.

Ingatan Aji makin bertambah jauh. Masih banyak kenangan yang masih menyelip di benaknya. Apalagi waktu masa orientasi siswa. Sebuah kenangan yang takan pernah luntur dari benak Aji. Aji mencoba mengingatnya kembali.

***

“Nggak ada yang boleh nggak make atribut mulai dari kalung pete, topi bundar, tas kardus, dan pita warna-warni bagi yang cewek,”sahut para Senior dengan sangarnya.

Semua murid baru hanya bisa menghela nafas dengan ucapan seniornya. Tak terkecuali Aji, sedikit gugup melihat para seniornya yang tak henti mengerjainya.

“Eh kamu bawa atribut nggak??”tanya Aji pada seorang cewek yang telihat agak panik dan ketakutan.

“Aduh! Gimana nih! Gue nggak bawa apa-apa, bisa-bisa gue pasti di kerjain habis-habisan sama seniornya”cewek yang memiliki paras yang cantik itu masih sedikit panik. Wajahnya agak tegang dan kepanikan.

“Nih! Loe pake aja punya gue!! Gua nggak tega ngelihat cewek di sakitin!”Aji menyodorkan atributnya pada cewek bertampang imut itu.

“Oh ya kita belum kenalan”lagi-lagi Aji berucap.

“Nama gue Bebi putria, loe bisa panggil gue Bebi”

“Gue Aji fahreza, panggil aku AJI”

***

Aji hanya bisa ketawa-ketawa sendiri kalau mengingat kenangan yang sangat manis itu. Meski malam ini Bebi tak datang menemui Aji, tapi tetap di hati lelaki itu masih ada suara-suara batin yang menghembuskan lafas cinta yang kian kentara terdengar di qalbunya.

“Maaf mas! Mau aku ramal?”sebuah suara membuat Aji terkaget dan lamunan Aji tadi buyar seketika.

Aji hanya tercengang ketika sekonyong-konyong datang seorang perempuan dengan gaun putih tepat di sampingnya. Aji memandanginya berulang kali. Di pastikannya kalau ia memang tak mengenal perempuan itu.

“Kamu siapa sich? Emang bisa ngeramal?”timpal Aji memberi komentar.

“Maaf ya kalau tadi aku membuat kamu kaget. Habis kamu serius amat melamun, jadinya kamu nggak mendengar sahutanku. Namaku Arumni. Aku bisa ngeramal apa aja tenang kehidupanmu. Sepertinya kamu sedang banyak masalah”ujar Arumni, si tukang peramal itu.

“Ok dech! Gue mau loe ngeramalin gue untuk masalah cinta dan hidup gue!”

“Kalau kamu memang pengen di ramalin, boleh aku pinjam telapak tanganmu?”pinta Arumni dengan lembutnya.

Aji hanya bisa melongo heran ketika melihat Arumni membaca apa yang tersirat serta rahasia yang tersimpan di telapak tangan Aji.

“Dari masalah cinta kayaknya sebentar lagi kalian bakalan berantakan dan bubar! Aleass putus! Apa kamu siap mencintai lukamu sendiri?”

“Loving Hurt maksud loe?”tanya Aji serius.

“Ya seperti itulah! Dan yang lebih parah ada belenggu mahligai dalam rumah tangga orang tua kamu!”jelas Arumni sok tahu.

“Alah loe sok tahu banget sich!”timpal Aji protes.

“Saya nggak minta kamu percaya pada ramalan saya!”

“Jangan banyak omong deh loe! Gue nggak butuh dan nggak percaya sama yang namanya ramalan”

***

Sudah dari tadi pagi hujan membajiri kota. Hujan yang turun amat deras seolah-olah ingin menampakan kearoganannya. Sedang Aji hanya bisa menikmati

Hari yang sangat membosankan ini di dalam kamar.

Tiba-tiba mama nongol di depan pintu kamar Aji.

“Ji, tadi temen mama bilang ada model sepatu baru di toko sepatu langganan mama. Jadi...,”omongan mama terputus. Tapi Aji mengerti maksud mama.

“Makud mama, mama nyuruh aji nyetir di tengah cuaca badai seperti ini? Mama tahukan kalau bahaya banget nyetir di tengah cuaca kayak gini”Ucap Aji memberi komentar.

“Tapi kalau besok, mama yakin sepatu itu udah di sikat sama teman-teman mama yang lain!”mama memelas. Ia terus meyakinkan Aji untuk pergi ke toko langganan mama hari ini juga.

“Ya udah deh, kalau mama bersikeras juga pergi”timpal Aji sebelum berangkat ke garasi untuk menstarter mobil.

***

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di toko sepatu langganan mama itu. Sampai di sana mama langsung lari buru-buru ke toko langganannya itu sebelum sepatu yang di impikannya itu di sambar orang lain.

“Ma, Aji tunggu di Kafe biasa aja ya!”ucap Aji pada mama yang sibuk mencari sepatunya itu.

“Ya udah nanti mama samperin!”jawab mama singkat.

Aji melangkahkan kakinya menuju kafe yang biasa ia datangi bersama Bebi ketika ia masih baru jadian dengan Bebi. Ia mempercapat langkahnya hendak bersantai sambil menghabiskan waktu dengan menyeruput segelas Capucino hingga mama kelar mendapatkan sepatunya itu.

Ketika sampai di depan pintu, langkah Aji tiba-tiba terasa berat. Lidahnya tiba-tiba terasa kaku. Barangkali Aji ingin meneteskan air mata itu, tetap semua terasa berat di lakukan.

Kembali ia menepis dugaanya. Satu yang tak bisa ia dustai, yang baru di lihat matanya bukan hanya sekedar drama atau ilusi semata. Untuk kembali meyakinkannya ia mengusap matanya berkali-kali. Benar. Tak ada yang salah dengan apa yang baru saja ia tatap. Bebi. Gadis yang selama ini telah membuat jiwa dan hari-hari kosong Aji menjadi terisi. Bebi yang selalu memberinya semangat ketika Aji merasa down. Tapi kenapa Bebi rela melakukannya.

Mata aji lebih terbakar dengan kehadiran seorang pria berdasi dan berkaca mata. Barangkali itu adalah lelaki yang selalu pulang malam dari kantor dengan alasan sibuk dan ketika mama menanyakan sebuah pertanyaan pada lelaki itu tentang parfum wanita yang menempel di bajunya, maka lelaki itu akan menjawab “Tadi ada orang yang menawarkan parfum”.

Ya. Lelaki itu adalah papa yang telah membohonginya selama ini. Membohongi mama yang telah mencintainya sepenuh hati. Aji buru-buru mengemasi kepingan hatinya yang berderai berkeping-keping. Satu hal yang tak bisa terelakkan, ia harus mencintai lukanya sendiri. Makin ia percepat langkahnya menuju toko langganan mama dan kemudian membawa mama pulang sebelum mama melihat cinta yang telah melukainya. Tiba-tiba Aji jadi teringat pada Arumni, Tukang peramal itu. Sekian*** Padang, 22 Agustus 2008

Dodi Prananda. Lahir di Padang16 Oktober 1993. Sangat mencinta dunia sastra. Berbagai karyanya sudah banyak dimuat di Haluan, Singgalang, dan media cetak lainnya. Sekarang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya di SMA1 PADANG. Berharap karyanya bisa di muat di Koran nasional. Kini sedang di didik di sanggar sastra Pelangi.

puisi dodi prananda





Sajak-sajak Oleh Dodi Prananda

ANTARA MALAM DAN SECANGKIR KOPI

Di dalam secangkir kopi

Kita menyatu menjadi

Warna.

Bak arang hitam. Legam.

Seperti malam ini

Malam yang telah mempertemukan kita

Padang 2008

ANTARA SEPEREMPAT RASA ANTARA JIWA DAN NYATA

Kau selalu mengais-ngais jiwaku

Tiap malam

Untuk sembunyikan rasa yang tak akan pernah berdusta

Bukan maya tapi nyata

Padang 2008

…I…..

Ini

Hati

Seperti

Duri

Sekarang ini

Enggan lagi

Sumringah tiap pagi

Tubuh ini

Tak suci

Dunia ini

Di jarah tiap hari

Oleh tirani

Nun keji

Burung merpati

Enggan menyanyi

Dunia ini

Akan menjadi elegi

Hidup yang akan selalu menjadi tanda tanya 2008

LORONG

Dulu kau sapaku

Aku malu kau jamah tubuhku dalam kata-kata

Enggan berkutik karena

Sesungguhnya tenaga dan hasratmu telah menghilang

Jauh di bawa terbang

Ke sebuah lorong

Padang 2008

RESAH

Tak kunjung kau rampungkan(resahmu)

Dalam angan yang terbuang

Menemani dirimu mengunyah waktu

Dalam dunia ribut kau butuhkan ketenangan yang tak akan dating

Penulis adalah siswa SMA 1 Padang

Dodi Prananda. Lahir di Padang16 Oktober 1993. Sangat mencinta dunia sastra. Berbagai karyanya sudah banyak dimuat di Haluan, Singgalang, dan media cetak lainnya. Sekarang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya di SMA1 PADANG. Berharap karyanya bisa di muat di Koran nasional. Kini sedang di didik di sanggar sastra Pelangi.