Senin, 09 Januari 2012

Cesar Zehan Camille: Akuntan Handal Masa Depan



Akuntansi, itulah disiplin ilmu yang kini tengah digeluti oleh Bintang Minggu ini. Ketertarikan Cesar Zehan Camille, 18, dengan dunia akuntansi berawal dari penilaiannya atas akuntansi sebagai ilmu sosial dengan metode yang hanya dapat dikuasi melalui pembelajaran mendalam terhadap ilmunya. Emil, demikian sapaan akrabnya, melihat akuntansi berbeda dengan ilmu sosial lainnya.

Menurutnya, kebanyakan ilmu sosial lainnya cenderung memiliki teori yang bersifat kualitatif dan secara umum dapat dipelajari sendiri tanpa harus belajar khusus. Hal itulah yang akhirnya mengantarkan Emil untuk melanjutkan pendidikannya di jurusan Akuntansi.

Ia menyebutkan bahwa banyak hal yang dirasakan begitu unik pada ilmu Akuntansi. “Hal menarik yang saya rasakan dari ilmu akuntansi adalah melihat betapa uniknya metode-metode pencatatan keuangan dan pembuatan laporan keuangan. Masalah-masalah dalam dunia akuntansi selalu menantang dan menarik untuk dipecahkan,” ujar pasangan Drs. H. Rinaldi Munaf, MM, Ak, CPA dan Ir. Hj. Gusnel Nazir ini kepada Singgalang, (15/2).

Hal lain yang membuat ia begitu interest dengan cabang ilmu satu ini yaitu keadaan negara Indonesia yang saat ini masih kekurangan Akuntan kualifikatif. “Indonesia saat ini masih kekurangan akuntan dalam menyusun laporan pertanggungjawaban seperti laporan keuangan yang akuntable, auditable, dan transparan. Banyak masalah keuangan yang terjadi di negara ini karena kurangnya akuntan dalam mengelola hal tersebut,” kata peserta Astra Honda Motor Best Student Tingkat Nasional, tahun 2009 silam ini. Emil merupakan salah satu penerima tiket untuk masuk Universitas Indonesia tanpa tes dari SMA 10 Padang, tempat ia bersekolah dulu.

Kendatipun berasal dari background akademis Ilmu Alam, tak membuat Emil gentar untuk mengambil jurusan Akuntansi dalam seleksi mahasiswa undangan tersebut. Alhasil, berbekal nilai akademis yang menunjang dan sokongan sejumlah prestasi level nasional dan Internasional, semakin mempermulus laju Emil menuju kampus Universitas Indonesia.

Berbicara tentang prestasi cowok kelahiran Padang, 17 September 1992, barangkali tidak perlu diragukan. Betapa tidak, sepanjang kurun waktu 2007 hingga 2009, setidaknya Emil telah mengantongi sebanyak 18 macam prestasi. Tidak hanya di level nasional, tetapi juga di level Internasional. Sebut saja prestasi Emil sebagai salah satu peserta pertukaran pelajar, Student Exchange of Asean-Jenesys Programme ke Tokyo, Japan, tahun 2009 silam. Di tahun yang sama ia juga berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Astra Honda Motor Best Student Tingkat Nasional. Atas torehan prestasi itupula, Dinas Pendidikan kota Padang menobatkan Emil sebagai salah satu peraih predikat Siswa Berprestasi kota Padang tahun 2009.

Ditanya mengenai prestasi mana yang berkesan menurutnya, Emil menyatakan bahwa semua prestasi yang pernah diraihnya memiliki kesan tersendiri. “Mungkin yang paling berkesan adalah saat saya terpilih menjadi salah seorang pertukaran pelajar ke Jepang dalam program Asean-Jenesys tahun 2009. Mengenal kultur dan budaya negara lain, apalagi melihat kemajuan teknologi dan pendidikan negara tersebut membuat saya bersemangat untuk membangun bangsa ini agar dapat menjadi negara maju seperti Jepang,” ungkap cowok yang hobi komputer, desaign grafis, blogging, membaca hingga travelling ini.

Sekaitan dengan prestasi yang telah banyak ia toreh, Emil angkat bicara. Ia menilai bahwa prestasi merupakan sebuah pencapaian diri yang diakui. “Memperoleh prestasi berarti kita mampu mengalahkan rintangan-rintangan yang dihadapi dalam mencapai sesuatu. Suatu prestasi semestinya juga merupakan sebuah awal untuk pencapaian yang lebih baik lagi,” ungkapnya. Sedangkan dalam pemikirannya, kegagalan justru diartikan sebagai sebuah keberhasilan yang tertuda. “Dengan kegagalan, kita dapat belajar dan mengidentifikasi kekurangan kita sehingga kita dapat berbuat lebih baik lagi di masa mendatang,” tambahnya.

Saat ini, Emil memiliki beberapa harapan yang ingin ia wujudkan ke depannya. Target jangka pendek Emil misalnya, ia ingin lulus 3,5 tahun dengan predikat Indeks Prestasi Kumulatif Cumlaude berikut memenangkan perlombaan di level Internasional. Sedangkan target jangka panjang, ia ingin melanjutkan studi di luar negeri. “Kalau ada kesempatan, ingin melanjukan di Harvard Business School,” tutupnya. (Narasi dan Foto oleh Dodi Prananda, Foto: Dok.Pribadi)


BIODATA BINTANG

Nama lengkap : Cesar Zehan Camille
Nama panggilan : Emil
Tempat, tanggal lahir : Padang, 17 September 1992
Orangtua : Drs. H. Rinaldi Munaf, MM, Ak, CPA dan Ir. Hj. Gusnel Nazir
Hobi : Komputer, Desain grafis, Blogging, Membaca, Traveling
Cita-cita : Akuntan
Motto : Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda
Pendidikan : Mahasiswa Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Prestasi :

1.Astra Honda Motor Best Student Tingkat Nasional (Astra Honda Motor, 2009)
2.Student Exchange of Asean-Jenesys Programme ke Tokyo, Japan (Japan International Cooperation Center, 2009)
3.Finalis DataPrint Academy Tingkat Nasional (DataPrint, 2009)
4.Juara II Siswa Berprestasi SMA Tingkat Kota Padang (Dinas Pendidikan Kota Padang, 2009)
5.Juara 1 Lomba Komputer JCO se-Sumatera Barat (AMIK Jayanusa, 2009)
6.Astra Honda Motor Best Student Tingkat Nasional (Astra Honda Motor, 2008)
7.Juara 1 Karya Ilmiah Honda Motor se-Sumatera Barat (Astra Honda Motor dan CV.Hayati, 2008)
8.Juara 1 Lomba Mading SMA se-Sumatera Barat (Universitas Andalas, 2008)
9.Top 100 Blogger Indonesia versi blog-indonesia.com (Blog-indonesia.com, 2008)
10.Juara 2 Lomba Karya Tulis Budaya “Malamang” se-Sumatera Barat (Padang Ekspres, 2007)
11.Juara 2 Lomba Essai Tingkat Nasional (Muhammadiyah dan Lion Air, 2007)
12.Juara 3 Pra-Olimpiade Biologi se-Kota Padang (Dinas Pendidikan dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Kota Padang, 2006)
13.Penghargaan dari Deputi Bidang Pengembangan Kepemimpinan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia atas partisipasi dalam Lomba Karya Tulis Pemuda Tingkat Nasional. (Menpora RI, 2007)

*) Tulisan profil ini ditulis oleh Dodi Prananda, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Tulisan ini juga pernah diterbitkan di rubrik BINTANG, Singgalang, Minggu 6 Maret 2011

Jumat, 17 Juni 2011

Lirik Lagu Remaja Krisis Makna

Industri musik Indonesia saat ini yang didominasi oleh genre pop bertema remaja, menciptakan suatu kondisi dimana lagu populer tumbuh menjamur. Musik dengan genre tersebut yang sangat digemari pasaran, kontan membuat para pendatang baru di blantika musik Indonesia ataupun penyanyi yang sudah ‘punya nama’ mengusung lagu-lagu bertema remaja. Tema lagu yang sangat popular tentu saja seputar cinta. Seakan-akan tak ada habisnya, hampir semua lagu pop mengandung unsur cinta pada liriknya.


Kondisi tersebut menimbulkan keadaan sebuah perlombaan lagu easy listening dengan menyuguhkan konsep musik yang cocok untuk remaja yang dikemas dengan muatan lirik lagu remaja pula. Selain memasukkan unsur-unsur cinta dalam liriknya, hal lain seperti melakukan pembaruan lirik dengan memasukkan hal-hal up to date saat ini alias yang paling mutakhir, seolah menjadi trend yang menjamur. Misalnya, saat ini tengah trend di kalangan remaja budaya update status di situs jejaring sosial seperti Facebook, Plurk, Twitter dan sejenisnya. Bahkan juga hal lain yang paling digemari remaja sekalipun seperti update status via Blackberry Messengger. Ini menunjukkan, lirik lagu remaja sekarang sangat peka terhadap perkembangan zamannya.


Hal ini membuat lirik lagu remaja sekarang bagai kehilangan identitasnya. Konsep remaja yang semestinya diusung, tanpa menghilangkan sisi kedalaman maknanya menjadi berubah. Kebanyakan hal ini terjadi pada musisi atau penyanyi pendatang baru di industri musik yang sengaja melakukan konsep demikian untuk melirik pasar. Akan tetapi, sisi lain, yaitu dalam hal makna yang ditawarkan dalam lagunya mulai berkurang bahkan karena kedangkalan maknanya, lagu tersebut menjadi tidak berarti. Kondisi kedua, lirik lagu remaja saat ini terjebak pada muatan tema-tema lagu remaja yang klise. Semuanya hampir membahas soal cinta yang bersifat biasa; putus cinta, ungkapan cinta yang berlebihan pada kekasihnya, dikhianati, perselingkuhan, jatuh cinta pada pandangan pertama, sampai hal-hal yang bersifat paling cengeng seperti kesedihan yang terlalu ‘lebay’ akibat putus cinta.


Tetapi yang paling menyedihkan, justru lagu-lagu demikian sangat digemari oleh para remaja. Lagu yang ditawarkan dengan lirik dangkal makna tersebut menjadi kiblat musik para remaja dan punya trend tersendiri. Misalnya saja, salah satu lagi bernuansa remaja berjudul Cinta Kamu Titik yang dipopulerkan oleh Ussy. Perhatikan lirik pada bait kedua lagunya “…Hei sayangku, hari ini kamu aneh, Kok BBM (Blackberry Messenger-red) gak dibales sih, Tapi Twitter eksis mulu..”. Apa yang dibubuhkan Ussy dalam lirik lagu tersebut sangat meremaja, dalam artian sangat dekat dengan budaya kehidupan remaja sekarang ini. Diluar kuasa kita sebagai penikmat musik, bisa jadi cara demikian merupakan strategi Ussy untuk menarik perhatian pasar. Tetapi, imbasnya pada remaja, remaja tidak lagi bisa mendapatkan nilai-nilai atau pesan dari lagu akibat krisis makna dari lagu yang ngetop di pasaran. Karena memang, dalam lagu itu tidak ada muatan pesan positif yang berarti dan bermanfaat bagi remaja saat ini.


Tapi, terlepas dari fenomena lirik lagu remaja yang krisis makna itu tersebut, kita mesti berbahagia karena masih ada penyanyi remaja yang memperhatikan komposisi liriknya. Seolah tak ingin terjebak pada trend, penyanyi seperti Gita Gutawa, Sherina, Afgan, dan musisi lainnya tetap memperhatikan lirik lagu mereka. Angin segar ini terasa menyejukkan tatkala kita menyadari, begitu banyak musisi baru yang bermunculan; meramaikan blantika musik Indonesia tanpa ada perubahan yang berarti pada lagu remaja serta tidak membawa warna baru. (Dodi Prananda, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia)

*) Tulisan dimuat pada halaman Remaja, Singgalang Minggu, 19 Juni 2011

Sabtu, 14 Mei 2011

Cerpen-cerpen Menarik ‘Dari Datuk ke Sakura Emas’




Judul Buku : Dari Datuk ke Sakura Emas
Penulis : (Bunga Rampai, Kumpulan Cerpen Bersama)
Cetakan : I, 2011
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 166 Halaman
Harga : Rp. 40.000
ISBN : 9789792269826


Ada hal yang menarik di ranah sastra Indonesia baru-baru ini, yaitu terbitnya buku kumpulan cerpen bersama. Buku kumpulan cerpen ini ditulis secara bersama-sama oleh para Cerpenis Indonesia seperti A. Fuadi, Alberthiene Endah, Andrei Aksana, Asma Nadia, Avianti Armand, Clara Ng, Dewi ‘Dee’ Lestari, Dewi Ria Utari, Happy Salma, Icha Rahmanti, Indra Herlambang, M. Aan Mansyur, Putu Fajar Arcana, Sitta Karina. Nama-nama tersebut merupakan penulis prominen Indonesia yang karyanya banyak dimuat di media massa dan publikasi dalam bentuk buku.

Cerpen-cerpen tersebut dikemas dengan sentuhan yang menarik masing-masing penulisnya. Semua penulis punya ciri khas masing-masing karyanya. Sehingga buku ini menjadi wadah kompleks yang mampu mengakomodir semua ‘warna’ yang berbeda itu ke dalam sebuah bentuk buku kumpulan cerpen bersama atau bunga rampai. Lebih menariknya, semua royalti dari penjualan buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini akan disumbangkan pada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

Buku ini menjadi napas baru kembali beberapa penulis yang sempat lama vakum dalam dunia kepenulisan. Seperti Icha Rahmanti, terakhir publikasi bukunya yaitu Beauty Case. Setelah itu tidak ada lagi buku Icha muncul di pasaran. Beberapa karya dalam buku ini merupakan pemuatan ulang (re-publish) atas beberapa karya lamanya yang terbit terdahulu. Cerpen Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia, misalnya. Hal yang sama juga terjadi pada cerpen Dee dan Sitta Karina. Buku ini memuat ulang cerpen Mencari Herman milik Dee dan Sakura Emas milik Sitta Karina.

Salah satu cerpen ini bercerita bahwa tak ada yang lebih membahagiakan Datuk Batungkek Ameh selain mengabdi kepada suku. Namun kepergiannya untuk meminpin upacara adat di Padang membawa misi lain. Haruskah ia terus mempertahankan wibawanya sebagai Datuk? Kisah ini merupakan salah satu cerita pendek dalam buku ini. Cerpen lain berkisah tentang keputusan Amelia untuk, “Aku akan menikah dengan dia. Tapi kamu adalah suamiku sepanjang hidup.” Ikuti pula kisah Kei, seorang gadis Jepang yang mempertanyakan kenapa ia harus bersekolah di Higa International School. Apa karena semua anak rekan bisnis ayahnya bersekolah di situ?

Empat belas cerita di buku ini ditulis oleh empat belas penulis kontemporer Indonesia. Mereka datang dari beragam latar belakang, beragam tema, beragam gaya, dan beragam genre penulisan. Dengan terbitnya buku ini diharapkan memberikan sumbangsih terhadap usaha para kalangan sastrawan untuk tetap memberadakan pusat dokumentasi sastra HB Jassin yang tengah terancam ditutup tersebut. (Peresensi: Dodi Prananda)

Rabu, 11 Mei 2011

Suguhan Fiksi Surealis yang Fantastis dan Romantis


Judul buku : Dongeng Afrizal
Pengarang : Pringadi Abdi Surya
Penyunting : Benny Arnas
Penyelaras Bahasa : Salahuddien Gz
Pemindai Aksara : Khrisna Pabichara
Penerbit : Kayla Pustaka
Cetakan : I, 2011
Harga : Rp.39.000,-


Setelah sukses dengan buku kumpulan puisi tunggalnya, Alusi (Pustaka Pujangga, 2009), Pringadi Abdi Surya menyapa publik ranah sastra Indonesia dengan sebuah buku kumpulan cerpen tunggalnya, Dongeng Afrizal (Kayla Pustaka). Sebagai seorang penulis muda Indonesia, Pringadi terbilang produktif dalam menulis cerpen dan puisi di media nasional dan lokal-nasional seperti Suara Merdeka, Jurnal Bogor, Harian Global, Sumatera Ekspres, Padang Ekspres, hingga Berita Pagi.

Buku ini menghimpun 15 cerpen Pringadi yang pernah dipublikan di pelbagai media di Indonesia. Hampir sebagian dari cerpen dalam buku Dongeng Afrizal ini, Pringadi mengusung genre fiksi surealias yang mengedepankan kisah-kisah fantastis yang absur tetapi dibalut dengan hal-hal yang menyentuh perasaan manusia dengan sisi romantis yang pas. Beberapa kisah fantastis itu tersaji dalam cerpen-cerpen seperti Surat Kedelapan, Resital Kupu-Kupu, Seseorang dengan Agenda di Tubuhnya, Macondo,Melankolia, Setan di Kepala Ibu, Domba-domba dalam Suratmu, Djibril dan Aku, Tuan,Nyonya dan Cerita di Balik Kartu Pos, Satu Cerita tntang Cerita yang Tak Pernah Kuceritakan Sebelumnya, Vaginalia, Dongeng Afrizal, Dongeng Ikarus, Pareidolia, Fiksimaksi:Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, dan Senja Terakhir di Dunia.

Balutan kisah surealis yang disuguhkan secara romantis kental terasa pada cerpen Surat Kedelapan. Pringadi menawarkan kisah yang dibalut secara unik, romantis dan akhir cerita yang menyentak. Cerita bermula tentang seorang aku yang mempunyai koleksi tujuh surat cinta yang belum sempat diberikannya kepada Zane, kekasih yang merupakan istrinya. Hingga kemudian tanpa sengaja ketika ia membaca ulang semua surat itu, ia melihat sebuah figura yang didalamnya ada jawaban atas semua surat yang belum sempat dikirimkan kepada Zane. Pringadi terlihat sangat sukses dalam menggarap cerpen Surat Kedelapan ini, hal ini terlihat dari begitu sabarnya Pringadi dalam menulis cerita ini sehingga emosi yang terkumpul dalam penulisan cerpen ini dengan mudah ditransfer kepada pembaca. Kendatipun unggul pada bahasa tutur aku yang sangat berkaitan dengan emosi pembaca, cerpen Surat Kedelapan ini mengingatkan kita dengan gaya tutur Seno Gumira Ajidarma dalam beberapa cerpennya yang mengusung konsep surealis serupa yaitu Alina dan Sukab. Ditambah dengan adanya tokoh Sukab dan Zane yang mengingat pada tokoh perempuan yang kerap dihadirkan Seno dalam kebanyakan cerpennya.

Kelihaian Pringadi dalam membangun suspense (ketegangan) dalam cerpen-cerpennya juga terlihat dalam cerpen Resital Kupu-Kupu. Cerpen ini bermula dengan tiga hal yang tidak ingin dilakukan tokoh aku. Pertama, memakai dasi kupu-kupu yang selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa kematian sahabatnya yang ditabrak truk ketika ia memegang kupu-kupu. Kedua, ketakutan tokoh aku pada kupu-kupu dan terakhir yaitu menceritakan semua hal yang dianggapnya sebagai sebuah rahasia kepada oranglain. Tanpa disadari, pembaca terhipnotis dalam alam khayal dan imajinasi Pringadi melalui cerita yang sangat absurd tersebut.

Pada sisi lain, Pringadi juga menyuguhkan sentilan-sentilan yang bersifat satir pada cerpen Seorang dengan Agena di Tubuhnya. Pringadi memilih gaya tutur Solilokui, yaitu bahasa tutur aku yang didomonasi pada narasi aku hingga akhir cerita tanpa melibatkan tokoh lain pada segmen dialog dan kalimat langsung. Ada sentilan yang dialamatkan pada aparat kepolisian dalam cerpen ini seperti yang terlihat dalam kutipan berikut “…dia seorang anak yang bercita-cita menjadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya dua ratus ribu dengan alasan administrasi…(hal 30).

Sentilan yang lebih ekstrem pun terdapat pada kalimat “..daripada merekaditangkap polisi lebih baik mereka menjadi polisi..”. Cerpen ini sarat akan penceritaan terhadap tekanan batin yang dialami oleh tokoh aku yang merupakan anak seorang pelacur. Ia kerap diolok, dipandang sebelah mata bahkan kerap menjadi bahan gunjingan. Pelabelan sosial terhadap dirinya, semakin jauh membuat ia semakin dideskeditkan. Cerita ini berakhir dengan antiklimaks dimana ibu tokoh aku bunuh diri, diluar hal itu, diceritakan bahwa yang membuhnuh ibu adalah anaknya sendiri karena ibu telah berbohong padanya.

Cerpen-cerpen lain dalam buku ini banyak mengundang misteri, tanda tanya bahkan emosi yang diaduk-aduk oleh keliahaian Pringadi dalam menaik-turunkank suspense cerita. Buku ini menjawab kerinduan pembaca sastra Indonesia akan karya-karya surealis yang sarat mutu, seperti cerpen-cerpen yang dihadirkan Seno Gumira Ajidarma, Agus Noor, Dewi Ria Utari hingga sederet cerpenis yang concern pada penulisan fiksi bergenre surealis. Buku ini wajib Anda miliki sebagai koleksi buku fiksi berkualitas Anda. (Dodi Prananda)


Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, 8 Mei 2011.

Minggu, 10 April 2011

Tradisi Cerpen Kompas Pilihan dari Tahun ke Tahun


Oleh Dodi Prananda



Cerpen di tengah kehidupan masyarakat yang terkadang dikungkung oleh banyak kesibukan, aktivitas yang menjemukan menjadi semacam santapan penyegar. Sebuah santapan yang barangkali mampu menimbulkan kenikmatan dalam menghilangkan kepenatan berikut kejemuan ketika kita harus berhadapan dengan pemberitaan media yang aktual, hangat, dan dijejali dengan pemberitaan yang sifatnya kers, menguras pikiran, menegangkan, dan membuat kita jadi pusing memikirkannya (Rikard Bagun, hal xi). Dengan hadirnya cerpen di hari Minggu seolah menjadi penyegar atas pemberitaan sepanjang Senin hingga Sabtu di hampir semua media massa di Indonesia. Adanya cerpen saban hari Minggu menjadi santapan yang lezat dan gurih bagi setiap orang yang merasa dikungkung, disesaki, orang yang merasa butuh kesegaran, butuh penyeimbang atas hal-hal yang menjejaki pikiran.

Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Kompas dalam Kata Pengantar Kompas menyebutkan bahwa posisi cerita pendek dalam koran menjadi unik, lebih-lebih jika dilihat sebagai pengimbang bagi rangkaian berita keras, langsung dan bahkan terkadang panas, tentang berbagai peristiwa aktual dan hangat.

Cerpen bersifat membebaskan, terutama dari impitan kompleksitas berita yang terkadang menegangkan dan menguras pikiran. Barangkali, atas dasar pemikiran itulah KOMPAS yang selalu memuat cerpen di setiap edisi Minggunya melakukan tradisi membukukan cerpen yang dianggap terbaik sepanjang tahun (saban tahunnya) sejak tahun 1992.

Untuk itulah, di saban Minggu, ruang halaman seni di Kompas selalu memuat cerita pendek di setiap edisi Minggu. Sedangkan tradisi pembukuan cerpen-cerpen pilihan? Tahun ini, setidaknya Kompas kembali menghelat perayaan tradisi pemilihan itu. Meski secara teknis, ada beberapa pembaharuan yang dilakukan oleh Ketua panitia pemilihan Cerpen Kompas Pilihan 2009, Ninuk Mardiana Pambudy. Pertama, terlihat dri sektor dewan juri yang dipercaya untuk melakukan penyeleksian terhadap 51 cerita pendek yang dimuat sepanjang tahun 2009 oleh Kompas.

Menilik ke masa lalu, tepatnya ketika tahun 1992 silam, Kompas selalu melakukan tradisi ini dalam rumah tangganya sendiri tanpa melibatkan orang-orang yang dianggap cakap dalam dunia sastra. Kompas membidani penerbitan sekaligus proses penyeleksian secara mandiri: dengan artian mempercayakan penyeleksian cerpen-cerpen yang dimuat pada kurun waktu tertentu tersebut pada anggota Redaksi Kompas. Anggota Redaksi Kompas dalam hal ini perlu digarisbawahi, mengingat tidak hanya mereka yang merupakan bagian dari anggota redaksi yang memang dipercaya membidani liputan yang berada pada ruang lingkup seni dan sastra, tetapi juga mengikutsertakan mereka yang secara nyata hanyalah bertindak sebagai penikmat sastra, namun merupakan keluarga besar di lingkungan ke ‘rumah tangga’ an Kompas.

Baru pada tahun 2005 dan 2006- lah ada sedikit pembaharuan dalam menjalani tradisi tahunan itu. Tahun itu, Kompas mulai melakukan sedikit inovasi, yaitu dengan ikut mengajak dan melibatkan secara aktif mereka-mereka yang dianggap punya kanz, punya kompetensi dan kredibilitas yang baik dalam dunia sastra (khususnya cerpen). Kompas mulai mengundang mereka-mereka yang tidak berasal dari keluarga besar Kompas. Maka, secara berturut-turut sepanjang tahun Kompas memasangkan Nirwan Dewanto dengan Bambang Sugiharto, Ayu Utami dengan Sapardi Djoko Damono, serta pada tahun 2008 memasangkan Rocky Gerung dengan Linda Christanty.

Maka, sedikit pembaruan lagi ketika melakukan penyeleksian untuk cerpen Kompas pilihan 2009 yaitu mengundang mereka yang bukan berada di lingkungan rumah tangga Kompas, tidak mempunya background kepenulisan prosa, tetapi dianggap memiliki perhatian besar pada perkembangan dunia sastra cerpen Indonesia. Dia adalah Kusmayanto Kadiman, seorang Menteri Riset dan Teknologi RI tahun 2004-2009. Di samping itu, Kompas juga mempercayai Budiarto Danujaya, sebagai pasangan Kusmayanto dalam melakukan penjurian.

Budiarto memang dikenal sebagai orang yang banyak malang melintang di dunia sastra Indonesia. Setidaknya ia pernah memiliiki riwayat kerja sebagai wartawan di Kompas dan majalah Jakarta Jakarta, di samping juga aktif menulis kritikan seni dan sastra pada pelbagai media. Berbeda dengan Kusmayanto, ia hanyalah repsentatif dari kepluralan masyarakat Indonesia yang juga ikut menikmati cerpen yang dimuat di Kompas.

Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia secara segmen pembaca media, muncul dari aneka latar belakang pengetahuan, pengalaman dan minat. Maka, untuk menghargai kepluralan itu, Kusmayanto –yang kerap menunjukkan sikap kepeduliannya terhadap dunia sastra cerpen khususnya melalui cerpen-cerpen Indonesia yang dimuat di Kompas memberikan kritikan via sms kepada redaksi.—dianggap sebagai wakil dari sekian ribu masyarakat Indonesia.

Setelah melakukan penjurian, atas 51 cerita pendek yang dimuat di Kompas kurun tahun 2009, terpilihlah enam belas cerita pendek Indonesia yang dianggap baik dari semua segi atau alat ukut kedua juri. Kendatipun dalam proses penjurian, nyatanya hanya enam cerpen yang benar-benar dipilih secara bersama oleh kedua orang dewan juri. Selebihnya adalah cerpen yang dilakukan lagi penjurian secara bersama oleh tim ketua panitia, mengingat setidaknya harus ada sekitar 15 judul hingga 20 judul cerita pendek yang akan dimuat dalam buku Cerpen Kompas Pilihan 2009 ini.

Buku Cerpen Kompas Pilihan 2009 ini menghimpun enam belas cerita pendek Indonesia yang sebagian justru ditulis bukan oleh penulis yang namanya sering muncul. Ada beberapa nama baru yang karyanya dianggap baik oleh kedua juri. Keenam belas cerpen itu adalah: Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian (Avianti Armand), Blarak (Yanusa Nugroho), Kucing Kiyoko (Rama Dira J), Penyusup Larut Malam (S.Prasetyo Utomo), Menanti Kematian (Jujur Prananto), Foto (Sori Siregar), Infini (J Angin), Pesan Pendek Dari Sahabat Lama (Indra Tranggono), Senja di Taman Ewood (Sungging Raga), Malam Pertama Calon Pendeta (Gde Aryantha Soethama), Tukang Cuci (Mardi Luhung), Ayat Keempat (Joni Syahputra), Dua Perempuan di Satu Rumah (AS Laksana), Pemetik Air Mata (Agus Noor), Nima (Aba Mardjani), dan Kaki yang Terhormat (Gus tf Sakai)

Dari keenambelas penulis tersebut, memang bisa terbaca sebuah hal yang mencolok. Yaitu, tidak terpilihnya beberapa karya penulis yang sudah produktif secara karya dan karyanya sering dimuat di Kompas, justru tidak terpilih. Melainkan ada penulis dengan nama baru (bahkan juga dengan usia yang relatif muda), justru menarik hati dewan juri melalui karyanya. Sebut saja Sungging Raga, Rama Dira J, Avianti Armand, Joni Syahputra dan beberapa nama lainya yang bisa dibilang ‘baru’ dan belum begitu tersohor dalam konteks ‘nama’ seperti Gus tf Sakai, Yanusa Nugroho atau Jujur Prananto.

Melalui debat para juri lagi, dipilihlah cerpen terbaik dari keenambelas cerpen yang masuk dalam seleksi. Akhirnya, setelah perdebatan panjang, terpilihlah cerpen ‘Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian karya Avianti Armand, seorang arsitek terkenal yang saat ini menjadi Dosen tamu di jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. Percaya tak percaya, cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian tersebut adalah cerpen pertama Avianti Armand yang dimuat di Kompas. Memang sebuah hal yang patut diacungkan jempol. [ ] Penulis bergiat di Sanggar Pelangi Padang, Yayasan Citra Budaya Indonesia.

Gairah Sastra yang Kering di Sekolah dan Siswa yang Rabun Sastra

Oleh Dodi Prananda


Fenomena keringnya gairah sastra di bangku anak sekolah memang bukan sebuah kaji baru. Persoalan tersebut bisa dibilang sebagai kaji lama yang sifatnya bagai hidup segan mati tak mau. Sehingga yang terjadi hingga sekarang, masalah kerap diapungkan, tapi lambat laun tergerus dengan sendirinya karena menjadi masalah yang kurang mendapat perhatian dan dibiarkan terkubur begitu saja.

Bahkan, maestro sastrawan asal Sumatra Barat, Taufiq Ismail sudah mengapungkan masalah ini sejak tahun 2003. Persis saat itu ditandai dengan gencarnya Taufiq Ismail melakukan komparatif bagaimana pelajarang mengarang berikut budaya ‘membaca’ sastra dalam dunia kurikulum sekolah yang ada di Indonesia. Sehingga, pada akhirnya survey yang sangat sederhana dan serba terbatas (melalui kilas potret, dan wawancara sederhana tamatan SMU dari 13 negara) yang dilakukan oleh Taufik Ismail tersebut membuat kita sedikit tersentak. Betapa tidak. Betapa sungguh menyedihkan bila mengetahui dalam kurikulum akademis sekolah di Indonesia, hampir tidak ada satu jenis buku atau bacaan sastra yang dijadikan sebagai bacaan sastra wajib.

Masalah bacaan tersebut, bila Indonesia dibandingkan dengan negara-negara luar, Indonesia jauh terbelakang ketimbang negara yang lain. Kita patut berkaca sekaligus mengapresiasi Amerika Serikat yang mewajibkan kepada siswa-siswinya membaca 32 judul buku dalam kurun waktu tiga tahun. Hal serupa juga terjadi di Jepang dan Swiss. Di kedua negara itu, setidaknya ada aturan membaca sastra sebanyak 15 judul buku. Mengambil contoh yang lebih dekat, Singapura misalnya, di negeri singa itu juga mengharuskan untuk menamatkan bacaan sastra sebanyak lima hingga tujuh judul buku. Lebih dekat lagi, ‘tetangga sebelah rumah’ Malaysia, Thailand atau Brunei Darussalam, dalam kurikulum akademisnya juga mengharuskan siswa-siswanya membaca sastra dalam jumlah yang sama dengan Singapura. Lantas, di negara kita sendiri? Sama sekali tidak ada satupun judul buku sastra sebagai bacaan wajib yang harus ditamatkan dalam kurun waktu tertentu.


Bahkan hingga saat ini, Taufik Ismail belum bisa menjawab. Persoalan apa sebenarnya yang terjadi? Padahal, apabila kita menilik ke belakang, kita dihadapkan pada sebuah fakta, bahwa ketika zaman atau era Algemeene Middelbare School (AMS) pada zaman Hindia Belanda, siswa-siswa telah diwajibkan membaca 15 hingga 25 judul buku sastra. Lalu, kenapa sekarang, pasca era Hindia Belanda, kebanyakan sekolah bagai menderita rabun sastra dan masalah kekeringan gairah sastra itu sendiri.
Secara sederhana, persoalan ini tentu dilatarbelakangi atas adanya pemisahan mata pelajaran Sastra Indonesia yang dulu pernah dimasukkan pada kurikulum sekolah. Akan tetapi karena banyak pertimbangan dan lain hal, akhirnya mata pelajaran Sastra Indonesia dengan Bahasa Indonesia digabung menjadi satu dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sehingga, buntutnya porsi pembelajaran sastra pun menjadi berkurang.Tidak hanya soal porsi yang berkurang, tetapi juga sedikitnya program jurusan Bahasa yang dibuka oleh kebanyakan sekolah saat ini. Bahkan, sekolah-sekolah yang masih membuka jurusan bahasa dalam kurikulumnya, dapat dihitung dengan jari. Kosentrasi jurusan bangku sekolah menengah atas, jauh lebih ditekankan ke jurusan ilmu alam dan ilmu sosial. Sehingga eksistensi jurusan bahasa perlahan mulai sirna dan kurang diminati oleh kebanyakan pelajar.

Persoalan kedua, mengenai proporsi pembelajaran bahasa dan sastra di kedua jurusan yang kini berkembang di dunia pendidikan. Materi sastra bisa dibilang minim, hanya terkonsentrasi pada ruang lingkup apresiasi sastra dalam taraf dasar. Pembelajaran sastra terbatas pada bahasan intrinsik dan ekstrinsik karya sastra yang tidak pula dilakukan secara mendalam. Tuntutun kurikulum yang serba terbatas untuk materi sastra, tidak sebanding dengan tuntutan pada bidang teknologi, sains, dan lingkup fisik yang didoktrin jauh lebih urgen ketimbang materi sastra.

Sehingga pada akhirnya, pemahaman siswa pada sastra menjadi sangat terbatas. Pada pembelajaran yang mengharuskan siswa membaca sastra, tidak sampai pada taraf analisis isi sastra yang dilakukan secara menyeluruh. Pada akhirnya lagi, minat membaca sastra semakin berkurang dan tergerus akibat kebutuhan, tekanan, dan desakan untuk menguasai lingkup lain yang dinilai urgensif daripada sastra.

Tidak mengherankan pula bila di kebanyakan sekolah tidak memiliki fasilitas labor bahasa yang representatif untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kepincangan ini menjadi bukti riil bahwa sastra diletakkan pada posisi terbelakang, ketimbang desakan kurikulum yang mengharuskan siswa menguasai pembelajaran yang bersifat sains. Untuk itulah, perhatian kebanyakan sekolah jauh lebih ditujukan pada pemenuhan fasilitas pendukung dan sarana prasarana pembelajaran sains di laboratorium. Kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran sains selalu pada posisi nomor satu. Berbeda dengan kegiatan pembelajaran sastra seperti pembelajaran sastra di alam, bengkel sastra, bedah sastra dan seterusnya hampir tidak ada. Pun bila ada, mungkin peminatnya tidak begitu banyak sebagaimana peminat sains. Karena secara tidak sadar, kondisi demikian mengakibatkan keadaan dimana minimnya jumlah siswa yang mencintai sastra.

Kondisi yang demikian, telah menjadi perhatian kebanyakan kalangan sastrawan. Mereka sebagai produsen karya sastra berusaha pula untuk mengkaji hal tersebut, sehingga ‘produk’ mereka dapat diterima semua kalangan, termasuk kalangan akademis di sekolah. Bila kita menyempatkan diri untuk mampir di rumah puisi Taufiq Ismail, maka potret ini akan bisa terbaca melalui banner-banner yang dipasang di dinding rumah puisi Taufik Ismail tersebut. Di sana ada sajian statistik berupa tabel yang memuat informasi tentang komparatif pembelajaran sastra di beberapa negara. Misalnya, di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, khusus untuk pembelajaran sastra didasari atas beberapa lingkup utama meliputi sastra, mengarang, tata bahasa, bicara, dan lain-lain. Kelima aspek itu memiliki porsi yang berbeda-beda satu sama lainnya. Teknik pembelajaran demikian diupayakan atas dasar mewujudkan kecintaan siswa pada pembelajaran sastra sehingga tidak ada pemikiran dalam benak siswa bahwa pembelajaran sastra (di Amerika disebut sebagai literature class) tidak membosankan.

Tidak hanya soal banner yang memuat informasi seputar teknik pembelajaran sastra di Amerika Serikat, melainkan juga perbandingan jumlah bacaan sastra 13 negara. SMA di Amerika Serikat, tepatnya di kota Forest Hills menempati posisi dengan jumlah bacaan sastra terbanyak sejak 1987 hingga 1989 dengan jumlah bacaan sebanyak 32 judul buku. Menyusul dibelakangnya salah satu SMA di kota Middleburg Belanda dan SMA di kota Pontoise Perancis, yaitu sebanyak 30 judul buku. Selebihnya dalam jumlah 15 hingga 5 judul buku. Yang menggelitik yaitu di Indonesia, bahwa di kota mana saja sejak 1943 sampai 2008 silam, jumlah buku bacaan sastra wajib yaitu sebanyak nol judul buku.
Untuk itu, sekali-kali bertanyalah Anda pada siswa-siswa SMA saat ini. Jangan heran pula bila mereka agak kebingungan menjawab ketika Anda lontarkan pertanyaan: siapa Sultan Takdir Alisjahbana itu, atau siapa A.A Navis, Hamka, Marah Rusli, N.H Dini, Sanusi Pane, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar atau nama-nama sastrawan nasional asal Sumbar seperti Wisran Hadi, Gus tf Sakai, Darman Moenir, Rusli Marzuki Saria, Yusrizal KW, Harris Effendi Thahar atau pertanyaan lain seperti: siapa penulis cerpen Robohnya Surau Kami? Siapa penulis novel Salah Asuhan? Agaknya, para ilmuwan mutkahir perlu melakukan discovery untuk merancang sebuah kacamata yang mampu mengatasi penyakit rabun jauh yang semakin parah tersebut. []

Penulis bergiat di Sanggar Sastra Pelangi Padang, Yayasan Citra Budaya Indonesia


---------------
Tulisan ini dimuat di Singgalang Minggu, 10 April 2011 pada rubrik Khasanah Budaya.

Sabtu, 05 Maret 2011

Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Christanty Nan Mencekam


Judul Buku : Rahasia Selma (Kumpulan Cerita)
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2010
Halaman : 130 halaman
ISBN : 978-979-22565-6-7
Harga : Rp.30.000
Peresensi : Dodi Prananda





Linda Christanty memang tidak hanya menunjukkan kiprah yang baik di dunia jurnalis. Ia juga cukup tersohor atas kiprah menulisnya. Di dunia kepenulisan prosa, tahun 2004 silam Linda Christanty hadir dengan Kuda Terbang Maria Pinto, buku yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Kini, Linda hadir kembali menyapa para penikmat sastra Indonesia melalui sebuah buku kumpulan cerpen yang memikat bertajuk Rahasia Selma.

Rahasia Selma merupakan salah satu judul cerita yang termaktub dalam buku ini. Setidaknya dalam buku ini terdapat sebelas judul cerpen, delapan diantaranya telah dipublikasikan di media massa nasional seperti Koran Tempo, Media Indonesia dan Demos. Cerpen-cerpen yang termaktub dalam buku ini yaitu Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Rahasia Selma, Kesedihan, Drama, Para Pencerita, Jazirah di Utara, Ingatan dan Babe.

Dari semua judul itu, hanya empat cerita yang belum dipublikasikan dengan kata lain merupakan karya manuskrip yang sengaja dimasukkan dalam buku ini untuk melengkapi jumlah cerpen. Lima cerita dalam buku ini, telah dipublikasikan di Koran Tempo antara kurun waktu 2005-2010, yakni Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Drama, Jazirah di Utara, dan Kesedihan. Tiga cerita diterbitkan di Media Indonesia dan Demos, serta tiga lainnya, Rahasia Selma, Ingatan, dan Babe, belum pernah diterbitkan di media cetak.

Melihat penampilan fisik buku, barangkali pembaca akan dibuat terkesan. Secara sampul, buku Rahasia Selma terbilang menarik. Pasalnya, ada sebuah komposisi ilustrasi yang dikemas dengan gambar yang menarik. Linda mengusung gambar kaki anak-anak yang mengenakan kaus kaki warna hijau dengan motif bunga-bunga. Anak tersebut tampak memakai sandal warna hitam. Gambar kaki seorang anak-anak tersebut dipadu dengan background warna oranye pudar. Apabila kita cermati, sekilas konsep sampul yang diusung Linda dalam buku ini memang agak mirip dengan konsep yang diketengahkan oleh buku karangan Vladimir Nabokov berjudul Lolita.

Buku Vladimir tersebut juga mengangkat konsep sampul yang agak mirip dengan buku Rahasia Selma ini. Namun, ada hal yang jauh berbeda diantara keduanya. Lolita dibuat dengan kesan menonjolkan kesedihan, terlihat melalui pemilihan warna hitam putih yang mendominasi. Sedangkan Rahasia Selma cenderung terkesan lebih ngejreng, dengan paduan warna-warna hidup. Perbedaan kedua terlihat dari cara berdiri sang tokoh anak-anak. Kalau dalam buku Lolita, pada sampulnya terlihat kaki anak-anak yang berdiri dengan pose kaki kanan yang agak sedikit ditekuk ke depan. Berbeda dengan Rahasa Selma, justru sang anak berdiri lurus tegak, dengan sepasang sepatu menghadap lurus.

Secara implisit, ada maksud yang ingin disampaikan Linda atas pemilihan konsep sampul seperti itu. Apabila kita telusuri lebih jauh, khususnya dalam cerpen Rahasia Selma, kita dibuat melalang buana ke dunia Selma, seorang anak yang ingin banyak tahu tentang dunia luar. Atas rasa keingintahuannya itulah, secara sembunyi-sembunyi Selma melakukan perjalanan tanpa diketahui siapapun. Termasuk Ibu Selma sendiri.
Kalau kita sadari, apa yang membuat Selma melakukan semua itu? Ingin tahu dunia luar, melakukan perjalanan itu secara diam-diam? Ya, kesepianlah yang mensugesti dan memberikan stimulus pada Selma sehingga bocah itu diam-diam pergi tanpa sepengetahuan Ibunya. Banyak diantara cerpen-cerpen Linda yang menonjolkan kesepian-kesepian yang mengungkung para tokohnya. Sama halnya pada cerpen Rahasia Selma itu. Maka, apabila dikaitkan pada sampul buku, terlihat sebuah gambaran betapa ingin tahunya anak-anak terhadap dunia luar – sebagai akibat kesepian yang melandanya—dan diekspresikan melalui gambar kaki anak-anak itu. Desain sampul yang menawan itu adalah hasil racikan Mirna Yulistianti dengan mengadopsi foto yang bersumber dari Shutterstock dan pensettingan oleh Malikas.

Masih soal sampul, kali ini sampul bagian belakang, Linda masih menyuguhkan hal yang sama seperti buku yang sebelumnya. Paling kentara terlihat dari tulisan endhorsement yang ditulis oleh endhoserser yang sama. Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Nirwan Dewanto adalah tiga nama sastrawan Indonesia (penyair) yang diminta menjadi endhorser pada buku ini – juga pada buku-buku Linda terdahulu—
Salah satunya Sapardi, yang menilai bahwa cerita-cerita yang ditulis Linda membuat ia membayangkan perkembangan cerita pendek Indonesia di masa datang. Sedangkan Nirwan – Redaktur Sastra dan Budaya Koran Tempo yang juga penyair—justru menyebutkan Linda mampu cerita-cerita yang mengusung aliran realisme yang mencekam, justru karena antididaktik.

Lain dengan Sutardji, menilai bahwa Linda menampilkan tema kemanusian tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan. Pertanyaan yang muncul, adakah alasan tersendiri bagi Linda atas pilihannya menayangkan endhorsement dari ketiga sastrawan yang justru punya background penyair alias penulis puisi? Atau apakah hal ini mungkin ini cara tersendiri bagi Linda untuk menarik pembaca atas penilaian ketiga endhorser yang namanya besar di dunia puisi Indonesia tersebut?
Diantara banyak cerita, ditilik dari segi latar, Linda cenderung memilih rumah sebagai latar yang paling dominan. Maka itulah, alasan penulis memberi judul resensi ini dengan ‘Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Cristanty yang Mencekam’ dengan alasan rumah adalah latar yang paling sering digunakan Linda dalam bercerita.

Rahasia Selma (hal.51) misalnya. Deskripsi yang kuat di awal, tentang suasana kehidupan Selma di rumahnya. Berikut petikan awal pembuka cerpen “Selma tidak lagi merasa sepi atau sendirian seperti sebelumnya. Ibu mengizinkannya memelihara kura-kura, bukan cuma seekor, tapi ribuan. Kura-kura mengelilinginya, berlapis-lapis seperti benteng di halaman rumahnya sendiri. Ia berbaring di sofa biru yang sengaja diletakkan di bawah pohon mangga itu, sementara ribuan kura-kura menjejak hamparan rumput hijau…”

Selanjutnya, Pohon Kersen (hal.5), Linda masih menggambil setting tempat di sebuah rumah yang ada Pohon Kersem di halamannya. Perhatikanlah cuplikan pembuka cerpen tersebut “Rumah kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang …” dan diantara itu cerpen Kesedihan (hal.65) dan Menunggu Ibu (hal.15) masih juga berlatar rumah, tentu saja dengan kesepian masing-masing tokohnya, kendati pada dua cerpen itu penggambaran rumah tidak begitu ditonjolkan ketimbang cerpen Pohon Kersem dan Rahasia Selma.

Dilihat dari cara penutuan deskripsi, Linda terbilang penulis yang mampu mendeskripsikan sesuatu hal dengan kuat. Meski dengan bahasa sehari-hari, tak membuat deskripsi jauh dari kesan estetika yang apik. Sebab, Linda mampu menghadirkan kelincahan berbahasa deskripsi. Bahkan, ketika hendak memulai cerita baru, Linda memperhatikan penggambaran deskripsi mulai dari suasana, tempat secara merinci atau detail. Hanya deskripsi waktu yang tidak begitu ditonjolkan. Hal tersebut bisa kita lihat pada dua cuplikan pembuka pada cerpen yang penulis kutip, Rahasia Selma dan Pohon Kersen.

Ditinjau dari segmen ide cerita, diantara kesebelas cerpen dalam buku Rahasia Selma ini bisa dibilang berangkat dari cerita keseharian manusia. Linda kerap mengangkat tokoh-tokoh yang dililit oleh kesepian, kekelaman, kemuraman, kedukaan dan sebagainya. Hampir semua cerita, hadir dengan tokoh yang punya problema kesepian masing-masing, tapi dengan versi yang berbeda.

Seperti kita dapati dalam cerpen “Pohon Kersen”—cerpen pembuka dalam kumpulan Rahasia Selma ini—di mana tokoh “aku”, sorang anak perempuan yang hidup dalam sebuah keluarga yang tampaknya berbahagia, penuh keceriaan, pengertian, namun ternyata memendam suatu permasalahan yang sangat personal. Bang Husni, cucu angkat Kakek yang tinggal serumah dengan keluarganya, melecehkan tokoh “aku” secara seksual yang menyebabkan “aku” sukar buang air kecil pada keesokan harinya. Perhatikanlah kutipan cerpen Pohon Kersen tersebut: “Tubuhku panas, sepertinya demam. “Pohon kersen itu jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba dahiku. “Kita lihat nanti,” jawabnya. Sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku menangis. Apakah kakek mengetahuinya? (Hal. 11)

Begitulah Linda menghadirkan sebuah pengalamana penistaan yang kerap dilakukan oleh orang-orang yang berada dilingkungan terdekat. Akan tetapi, tokoh ‘aku’ dalam cerpen Pohon Kersen tersebut punya cara lain agar ia bisa mengalihkan pikirannya terhadap kekelaman itu. ‘Aku’ mengalihkannya pada pohon kersen di halaman rumahnya yang pada musim tertentu melulu dirimbuni ulat dan akan ditebang itu. Pohon kersen yang di atasnya ingin dibangunnya sebuah rumah pohon, agar “aku” tak perlu ke kamar mandi setiap malam ketika kepingin buang air kecil—kebiasaan yang dimanfaatkan Bang Husni untuk merayu dan kemudian “melecehkannya”.

Kekelaman, kemuraman, kedukaan versi lain juga dihadirkan melalui cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu. Pada cerita ini, Linda seperti ingin mengatakan tidak selamanya pula perempuan dijadikan objek pelecehan sebagaimana yang dialami tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen. Pada cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu Linda justru mematahkan anggapan tidak selamanya perempuan yang jadi korban, lelaki pun bisa dijadikan objek pelecahan. Kali ini, bukan seorang Bang Husin (orang yang melecahkan tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen) yang notabenenya adalah orang biasa. Melainkan oleh seorang guru mengaji yang kerap menghukum anak didiknya yang tidak dapat menghafalkan atau salah melafalkan ayat Al-Quran. Pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya adalah sebuah realitas yang juga dapat kita saksikan di layar televisi kita.

Guru mengajinya menghukum murid laki-laki maupun perempuan di kamar gelap tiap kali mereka salah melafalkan ayat. Akibat hukuman itu ia sukar buang air besar berminggu-minggu. Dua teman perempuannya tidak datang mengaji lagi. Orang-orang kampung berbisik-bisik keduanya hamil gara-gara tidak sanggup mengucap ayat-ayat suci dengan benar. “Sebaik-baiknya hukuman lebih baik datang dari manusia sebelum hukuman dari Allah yang lebih dahsyat itu membakar dan memanggang kamu semua di api neraka,” kata sang guru, dengan suara diseram-seramkan..” (Hal. 34)

Begitulah Linda hadir di tengah khasanah sastra Indonesia dengan memunculkan cerita-cerita yang muncul atas fenomena kelam yang hadir di kehidupan kita. Kehidupan masyarakat kita yang di dalamnya terdapat beragam problema sosial sampai problema personal yang mungkin tidak akan diketahui oleh orang lain. Buku Rahasia Selma ini di tahun 2010 lalu juga meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010 untuk kategori buku prosa. Barangkali, buku ini bisa menjadi buku yang akan menambah koleksi buku fiksi Anda. Selamat menjelajahi rumah fiksi Linda Christanty yang mencekam.


-----------------------------
Dodi Prananda lahir di Padang, Sumatra Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan Simpang masuk dalam Antologi ‘Sehadapan’ (Rayakultura Press, 2010) Antologi Peraih Anugerah Lipe Ice Selsun Golden Award 2010, Antologi Misteri Tas Merah Jambu (Kompas Gramedia, 2010) dan Negeri Kesunda (Antologi Pemenang Lomba Cerpen IAIN Imam Bonjol Se-Indonesia). Aktif berkegiatan di Yayasan Citra Budaya Indonesia – Sumatra Barat, Sanggar Sastra Pelangi Padang.